Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pesantren Waria: Antara BEribadah dan Pengakuan

29 September 2010   01:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Latar Belakang

Saat membaca judul di atas, (mungkin) timbul sejumlah pertanyaan dalam benak pembaca, “Pesantren waria??. Masa sih??. Emang ada??. Kalau ya, dimana?..”. Sekilas pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan reaksi yang wajar ketika mengetahui ada pesantren khusus waria. Namun sesungguhnya, respon berupa keterkejutan dan bertanya-tanya mengenai kebenaran fakta ini tak lebih dari sebuah realitas sosial tentang bagaimana eksistensi kaum waria yang selama ini belum diakui keberadaannya di masyarakat. Mengingat, perilaku mereka yang bak seperti perempuan, meski memiliki alat kelamin laki-laki, penis, dipandang sebagai sesuatu yang aneh, abnormal, dan menyimpang. Oleh karena itu, tak mengherankan jika keberadaan pesantren khusus waria cukup membuat banyak orang tersentak sekaligus memicu rasa ingin tahu akan motivasi yang mendorong para waria mendirikan pesantren ini.

Tak dapat dipungkiri jika setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk kaum waria. Mereka yang selama ini ‘dicap’ sebagai kaum pendosa oleh kebanyakan kaum agamawan, ternyata juga mempunyai kerinduan akan suatu sosok bernama Tuhan. Fakta ini saya temukan dalam sebuah pesantren khusus waria bernama Pondok Pesantren Senin-Kamis. Di pesantren yang terletak di Jalan Notoyudan, Yogyakarta, ini kaum waria terlihat begitu khusyuk menjalankan ibadah. Ekspresi itu tergambar jelas dari raut wajah mereka yang tampak begitu menghayati setiap gerakan ibadah yang dilakukan.

Namun demikian, niat suci mereka untuk beribadah, boleh jadi, hanyalah sebuah kamuflase dari satu kepentingan yang lebih bersifat politis. Seperti yang telah saya singgung di atas, kebertubuhan kaum waria sampai dengan detik ini masih belum diakui di masyarakat sehingga kuat dugaan jika tujuan mendasar pendirian Pondok Pesantren Senin-Kamis ini terkait erat dengan tuntutan pengakuan akan kebertubuhan mereka sebagai waria. Atau secara sederhana, melalui pesantren ini mereka ingin agar status mereka sebagai waria menjadi diakui di masyarakat.

Di sinilah, letak fokus pembahasan tulisan ini. Tulisan ini bertujuan untuk membongkar makna yang tersembunyi di balik pendirian pesantren khusus waria: beribadah atau pengakuan.

Deskripsi Pesantren Khusus Waria

Sebelum sampai pada tahap pembahasan, terlebih dahulu saya akan menggambarkan bagaimana persisnya pesantren khusus waria itu. Deskripsi ini meliputi bentuk bangunan pesantren beserta isinya, jadwal, dan kegiatan apa saja yang berlangsung. Serta bagaimana para waria yang menjadi santri di pesantren ini melakukan ibadah.

Saat hendak memasuki pesantren yang didirikan pada tanggal 8 Juli 2008 ini, saya melihat dua buah papan nama tergantung. Papan nama pertama bertuliskan “Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis”. Sementara papan nama kedua bertuliskan “Ariyani Salon Kecantikan Dan Rias Pengantin”. Posisi papan nama Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis terletak di atas papan nama Ariyani Salon Kecantikan Dan Rias Pengantin. Bangunan pesantren khusus waria sekaligus salon kecantikan dan rias pengantin ini adalah sebuah rumah kontrakan yang disewa oleh Bu Mar (49), sang Ketua Pondok, sebagai tempat tinggal ia bersama seorang anak angkat perempuannya yang bernama Rizki Maryani (9).

Kemudian memasuki ruang tamu, saya melihat tiga buah bangku sofa berwarna Hitam yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Di belakang sofa, dua buah foto terpampang di dinding tembok bercat Kuning. Dua buah foto ini diapit oleh sebuah jam antik berwarna Hitam. Foto Bu Mar yang berada di sebelah kiri jam terlihat sangat anggun dan cantik mengenakan kebaya berwarna Hitam, rambut disanggul, bibir yang telah dipoles lipstik berwarna Merah menyala, eye shadow berwarna Coklat Muda, dan alis yang ditebalkan dengan menggunakan pensil alis. Ketika pertama kali melihat foto tersebut, saya mengira itu adalah foto seorang perempuan keraton. Namun ternyata dugaan saya salah. Foto itu adalah foto seorang waria bernama Bu Mar. Sedangkan di sebelah kanan jam, terpampang foto Ustad Ham (56), yang memakai penutup kepala berwarna hitam dan jas berwana Putih dengan rambut gondrong terurai dan kumis, bersama istrinya, Bu Nina, yang memakai kerudung dan baju dengan warna yang senada, Merah Muda. Mengapa foto Ustad Ham bersanding dengan foto Bu Mar? Karena ia adalah orang yang paling berjasa dalam pendirian Pondok Pesantren Senin-Kamis, termasuk dalam hal pemberian nama Pondok Pesantren Senin-Kamis yang diambil dari puasa sunnah yang dilakukan Nabi Muhammad pada hari Senin dan Kamis dan penyediaan staf pengajar untuk mengajar para santri waria tanpa dipungut bayaran alias gratis. Atau dengan kata lain, tanpa peranan Ustad Ham, Pondok Pesantren Senin-Kamis tak mungkin berdiri.

Selain berfungsi sebagai ruang tamu, ruangan ini juga berfungsi sebagai salon. Saya melihat berbagai macam peralatan salon, misalnya, hairdryer, catok, pewarna rambut, cream pemutih, konde rambut yang dipakai untuk sanggul, dan lain sebagainya, yang tersimpan dalam sebuah lemari kaca yang terletak di depan sofa. Di belakang lemari kaca, ada lemari baju yang berukuran cukup besar berisikan perlengkapan baju khusus pengantin Jawa yang terdiri dari kebaya, beskap, jarit, blankon, dan keris. Saya juga melihat sebuah cermin besar dengan posisi mengarah ke sofa sehingga seringkali banyak tamu Bu Mar yang waria duduk di sofa dengan mata melihat ke cermin itu hanya sekadar untuk berdandan.

Setelah puas mengamati seluruh benda yang berada di ruang tamu, saya melangkah ke ruang tengah. Di ruangan inilah, kegiatan Pondok Pesantren Senin-Kamis berlangsung. Oleh karena itu, tak mengherankan jika saya menemukan banyak simbol keagamaan yang terpampang di dinding tembok berwarna Oranye ini. Seperti contoh, tiga buah tulisan kaligrafi yang bertuliskan kata Allah dan Muhammad. Serta dua buah poster berukuran sedang bergambarkan tata cara melaksanakan sholat. Selain simbol keagamaan, di dinding ruangan ini juga tergantung sebuah foto Megawati Sukarno Putri sedang tersenyum memakai baju berwarna Merah dengan posisi mengacungkan tiga jari ke atas dan bertuliskan “Bendera sudah kukibarkan… Berhentilah menangis!”.

Pada awal terbentuknya pesantren ini, kegiatan dimulai pada hari Minggu sore menjelang Magrib hingga berakhir pada hari Senin Siang. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah santri waria yang hadir mengalami penyusutan. Hal ini disebabkan karena mereka keberatan dengan jadwal kegiatan yang dirasakan sangat membebani diri mereka yang memang sudah lama tidak beribadah. Selain itu, banyak santri waria yang harus bekerja di malam hari sebagai PSK alias nyebong sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengikuti kegiatan pesantren semalaman penuh. Berdasarkan kedua alasan inilah, waktu kegiatan pesantren menjadi dipersingkat dari hari Minggu sore menjelang Magrib sampai dengan pukul 22.30 WIB.

Adapun kegiatan yang berlangsung di Pondok Pesantren Senin-Kamis sama seperti aktivitas beribadah yang dilakukan oleh umat muslim pada umumnya. Misalnya, sholat berjama’ah, shalawat, dzikir, dan membaca Al Qur’an. Sesekali aktivitas diselingi dengan ceramah yang disampaikan oleh pak ustad. Pertama-tama kegiatan diawali dengan sholat Magrib berjama’ah yang dipimpin oleh seorang imam. Imam ini tak lain dan tak bukan adalah anak buah dari Ustad Ham yang bertugas untuk memberikan pengetahuan keagamaan kepada para santri waria secara gratis alias tanpa dipungut bayaran. Ia bukanlah seorang waria, melainkan ia adalah seorang pria tulen yang telah memiliki seorang istri dan empat orang anak. Setelah sholat Magrib, kegiatan dilanjutkan dengan shalawat Nariyah dan dzikir. Lalu aktivitas diteruskan dengan sholat Isya dan dzikir. Kemudian kegiatan dihentikan selama satu jam untuk beristirahat. Kegiatan kembali dilanjutkan dengan sholat Hajat berjama’ah dan berdzikir. Aktivitas pesantren khusus waria baru berakhir sekitar pukul 22.30 WIB. Begitulah serangkaian rutinitas kegiatan di Pondok Pesantren Senin-Kamis.

Di Pondok Pesantren Senin-Kamis, para santri waria diberikan kebebasan dalam memakai peralatan sholat, peci dan sarung atau ruku (mungkena). Kebanyakan dari mereka, termasuk Bu Mar sendiri, Sang Ketua Pondok, memilih untuk menggunakan ruku dan sholat di shaf perempuan. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada santri waria yang mengenakan peci dan sarung. Para santri waria yang memilih sholat di shaf laki-laki jumlahnya bisa dihitung dengan jari alias sedikit. Adapun alasan yang mereka kemukakan lebih kepada faktor personal diri mereka masing-masing. Seperti contoh, saat saya bertanya kepada Mba Novi tentang sarung dan peci yang dikenakannya, ia menjawab, “Meskipun saya waria, tapi kan Gusti Allah lihat saya cowok. Ya, makanya saya pake sarung sama peci”. Lain Mba Novi lain pula Bu Mar. Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) ini bertutur jika alasannya memakai ruku karena ia merasa dirinya perempuan, “Ya. Saya kan perempuan. Jadinya, saya sholat pake ruku”.

Antara Beribadah dan Pengakuan

“Sebagai muslim, saya kan juga pengen beribadah ke mesjid. Ya toh. Tapi kalo saya ke mesjid, saya selalu dicemooh sama orang-orang. Ya, kalo saya sholat di tempat perempuan, ibu-ibunya pada liatin (baca: melihat) saya. Trus mereka nyuruh saya pindah ke tempat laki-laki. Mereka bilang, “Kok lanang (baca: pria) sholat di sini”. Tapi kan saya enggak mau sholat di tempat laki-laki lha wong saya perempuan kok masak harus sholat di tempat laki-laki. Ya toh”.

Kalimat di atas merupakan curahan hati (curhat) sang ketua pondok bernama Bu Mar. Status dirinya sebagai seorang waria membuatnya kesulitan saat harus beribadah di mesjid. Ia mengalami penolakan dari para jama’ah, dalam hal ini ibu-ibu, ketika ia memilih untuk sholat di shaf perempuan. Karena mereka masih menganggap jika Bu Mar adalah seorang laki-laki sehingga terlontar suatu kalimat yang memang sengaja ditujukan pada dirinya, “Kok lanang sholat di sini”. Namun, Bu Mar yang merasa dirinya adalah seorang perempuan menolak untuk pindah ke shaf laki-laki. Akibat perlakuan itu, ia merasa enggan untuk beribadah di mesjid lagi.

Dari pengalaman itulah, ia bersama Ustad Ham, seseorang yang selama ini mengajak dan membimbing Bu Mar menuju jalan Tuhan, berencana untuk mendirikan suatu wadah beribadah yang memang khusus ditujukan bagi Bu Mar dan teman-temannya sesama kaum waria agar mereka merasa nyaman menjalankan ibadah tanpa harus dipusingkan dengan tempat di mana ia sholat, di shaf laki-laki atau shaf perempuan, dan memakai peralatan apa ketika sholat, sarung dan peci atau ruku. Sekaligus juga agar para waria merasa tenang dalam beribadah karena berada dalam satu komunitas yang sama. Lalu tepat pada tanggal 8 Juli 2008, pesantren khusus waria resmi didirikan.

Keberadaan Pondok Pesantren Senin-Kamis begitu penting artinya bagi Bu Mar dan juga para waria yang menjadi santri di pesantren ini. Di sini, mereka tidak hanya dapat beribadah dengan rasa nyaman sekaligus tenang atau hanya sekadar kumpul-kumpul bersama teman-teman waria saja, tetapi juga dapat menunjukkan kepada masyarakat akan eksistensi kebertubuhan mereka sebagai kaum waria. Artinya, melalui pesantren khusus waria ini, mereka ingin agar status kewariaannya menjadi diakui di masyarakat. Bahwa kedirian mereka yang menyerupai kaum perempuan, meski terlahir sebagai pria tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang aneh, abnormal, dan menyimpang. Bahwa keberadaan mereka sebagai kaum waria juga sama seperti manusia pada umumnya.

Lalu muncul pertanyaan bagaimanakah sebenarnya masyarakat mewacanakan kebertubuhan waria?. Atau secara sederhananya, bagaimanakah posisi kaum waria di tengah-tengah masyarakat?. Pertanyaan ini mutlak untuk dijawab karena terkait erat dengan akar permasalahan yang selama ini dihadapi kaum waria, yakni persoalan pengakuan.

Moh. Yasir Alimi dalam bukunya yang berjudul Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama menjelaskan secara detail mengenai wacana kebertubuhan kaum waria di dalam masyarakat yang selalu dan selalu dipandang sebagai sesuatu yang lain (the other), sesuatu yang berada di luar jenis kelamin pria dan perempuan. Karena pada intinya, masyarakat hanya mengakui dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Bahwa manusia yang dianggap ideal sekaligus normal adalah pria dan perempuan. Hal ini disebabkan oleh wacana kekuasaan, yaitu ideologi heteronormativitas.[1] Adapun yang dimaksud dengan ideologi heteronormativitas adalah ideologi tentang keharusan untuk menjadi heteroseksual dengan tujuan prokreasi, melahirkan keturunan. Ideologi ini berdampak pada diwajibkannya pria dan perempuan berpasangan. Bahwa laki-laki harus berpasangan dengan perempuan agar bisa berproduksi. Begitu juga sebaliknya. Perempuan diharuskan berpasangan dengan pria. Selain itu, ideologi heteronormativitas juga mengharuskan adanya kesesuaian antara identitas seksual dan identitas gender. Tidak boleh dicampuradukkan (in between). Identitas seksual memiliki definisi sebagai identitas yang dilihat dari alat kelamin yang dimiliki seseorang sejak lahir. Jika ia memiliki alat kelamin penis, maka identitas seksualnya adalah pria. Jika ia memiliki alat kelamin vagina, maka identitas seksual adalah seorang perempuan. Sementara identitas gender adalah identitas yang dibentuk oleh sosial. Artinya, kalau laki-laki, maka harus maskulin, dan sebaliknya bila perempuan harus feminin.

Ideologi heteronormativitas ini secara terus menerus direproduksi melalui ilmu pengetahuan, dalam hal inikedokteran, psikologi, dan agama Islam, yang dengan secara sengaja mengkonstruksi kebertubuhan waria sebagai sesuatu yang menyimpang. Seperti contoh, ilmu kedokteran melihat adanya permasalahan di dalam tubuh waria yang disebabkan karena pembentukan kromosom yang salah dan disposisi hormonal. Lalu ilmu psikologi memandang adanya ‘penyimpangan’ di dalam jiwa mereka yang merasa tidak nyaman dengan penis yang dimilikinya atau yang disebut dengan gangguan identitas gender (gender identity disorder). Kemudian ilmu agama Islam semakin memperkuat argumen kedua ilmu tersebut dengan menggunakan hukum, Al Qur’an dan hadits, sebagai pembenaran bahwa kaum waria adalah kaum laknat.

Selain ilmu pengetahuan, ideologi heteronormativitas juga direproduksi melalui media massa. Hal ini terlihat jelas dari maraknya pemberitaan, baik di media cetak maupun elektronik, yang menginformasikan kaum waria itu secara negatif. Misalnya, berita mengenai terjaringnya kaum waria yang berprofesi sebagai PSK oleh satpol PP. Pemberitaan tersebut secara langsung berdampak pada pencitraan negatif (streotyping) kaum waria di masyarakat yang diidentikkan dengan dunia pelacuran.

Kemudian ideologi heteronormativitas yang secara sengaja direproduksi melalui ilmu pengetahuan dan media massa ini masuk ke dalam alam bawah sadar (unconscious) setiap manusia sehingga kita, yang bukan waria, memandang mereka, kaum waria, itu sebagai sosok manusia yang aneh, menyimpang, dan abnormal. Keberadaan kaum waria di tengah-tengah masyarakat menjadi dipertanyakan. Mengingat, secara lahiriah ia adalah laki-laki, tetapi berpenampilan bak seperti seorang perempuan. Atau dengan kata lain, sosok pria dan perempuan berada dalam satu tubuh, yaitu seorang waria. Perilakunya yang menyerupai perempuan dianggap telah mengacaukan identitas gender yang ada. Orientasi seksual mereka yang menyukai sesama jenis dipandang ‘menyimpang’ karena tidak bertujuan pada prokreasi atau melahirkan keturunan. Ditambah lagi dengan banyaknya kaum waria yang menggeluti dunia pelacuran sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dengan demikian, wacana kekuasaan yang bernama ideologi heteronormativitas ini telah membuat kebertubuhan kaum waria sebagai manusia ciptaan Tuhan dipandang ‘berbeda’ di masyarakat. Posisi kaum waria dinilai sebagai sesuatu yang lain (the other), sesuatu yang berada di luar laki-laki dan perempuan, sehingga eksistensi mereka pun menjadi belum diakui. Atau jika meminjam teori seorang sosiolog asal Perancis, Emile Durkheim, yang mengatakan bahwa kuatnya pengaruh masyarakat telah membuat individu-individu yang dianggap ‘bukan kita’ (the other), dalam hal ini kaum waria,menjadi disalahpahami.[2] Lebih lanjut, Durkheim menjelaskan betapa pentingnya keberadaan masyarakat dalam memahami pemikiran dan perilaku manusia. Masyarakat dimaknai sebagai sesuatu yang sakral, yaitu sesuatu yang bersifat superior dan berkuasa dalam menilai segala hal.

Di sinilah letak pentingnya kehadiran pesantren khusus waria bagi Bu Mar dan teman-temannya sesama waria. Pondok Pesantren Senin-Kamis sengaja didirikan sebagai upaya perlawanan kaum waria terhadap ideologi heteronormativitas yang secara jelas membuat keberadaan mereka laiknya seorang manusia biasa menjadi dinafikan, seolah-olah dianggap tidak ada. Melalui pesantren ini, para waria menuntut pengakuan agar kebertubuhan mereka sebagai seorang waria yang juga mahluk ciptaan Tuhan menjadi diakui. Bahwa kedirian mereka yang menyerupai kaum perempuan, meski terlahir sebagai pria tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang aneh, abnormal, dan menyimpang. Bahwa keberadaan mereka sebagai kaum waria juga sama seperti manusia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alimi, Moh. Yasir (2004), Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama, Yogjakarta: LKiS.

Pals, Daniel (1996), Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, Yogyakarta: IRCiSoD.

[1] Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa HinggaWacana Agama, (Yogjakarta, LKiS: 2004), hlm. 8

[2] Daniel Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, (Yogyakarta, IRCiSoD: 1996), hlm 138

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun