Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengalaman Dibonceng Motor Waria

15 Mei 2010   01:28 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 2261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_141277" align="alignright" width="214" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Ada satu pengalaman menarik yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidupku. Pengalaman itu adalah ketika aku berboncengan sepeda motor bersama dengan salah seorang temanku untuk pertama kalinya. Cerita ini berawal saat temanku itu mengajakku pergi ke tempat kerjanya yang terletak di Jalan Magelang, Yogyakarta, dengan menggunakan sepeda motor bututnya. "Ayo Er, kita jalan-jalan ke Jalan Magelang, ke tempat kerja aku," ajak temanku yang baru saja aku kenal satu tahun yang lalu. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengiyakan tawaran dia. Aku buru-buru mengenakan sebuah helm berwarna Hitam dan duduk manis di belakangnya. Kebetulan jarak yang kami tempuh bisa dikatakan lumayan jauh sekitar lima kilometer. Namun berkat ‘kehebatan' temanku ini dalam mengendarai motor bututnya itu, waktu yang dihabiskan dari rumahnya yang terletak di Kota Gede ke Jalan Magelang tak lebih dari dua puluh menit.

Selama perjalanan, temanku itu asyik bercerita mengenai pekerjaannya sebagai seorang penata rias gadis pemandu lagu di salah satu tempat karaoke pub. Selain itu, ia juga menuturkan bagaimana susahnya menjalani profesi sebagai gadis pemandu lagu yang, konon, seperti lonte alias pelacur. Sepanjang temanku ‘berdongeng', aku pun turut mendengarkan semua pengalamannya itu hingga larut membayangkan bagaimana jadinya ketika aku berada di posisi mereka dan menjalani semua rutinitas kehidupan sehari-hari sebagai gadis pemandu lagu selama bertahun-tahun lamanya. Tak henti-hentinya, aku bergumam dalam hatiku, "Thanks god" atas semua yang Tuhan berikan selama ini, termasuk mempertemukan aku dengan salah seorang makhuk ciptaan-Mu ini.

Di tengah lamunanku, tiba-tiba aku tersentak oleh sebuah tatapan ‘tidak wajar' dari seorang lelaki tampan berusia kira-kira dua puluh lima tahun, berkulit putih, memakai jas kulit berwarna Hitam dengan motor Honda 2000 yang dikendarainya. Kebetulan saat itu, kami (aku, temanku, dan pria tampan itu) sedang berada di perempatan lampu Merah Jalan Letjen. Suprapto. Posisi motornya persis di samping motor temanku. Lalu mengapa tatapan pria itu aku sebut ‘tidak wajar'? Karena pria itu tak henti-hentinya menatap secara seksama beberapa anggota tubuh yang ada di muka temanku, misalnya, hidung, pipi, dan dagu dengan sorotan mata tajam, mengernyitkan alis, dan sesekali tersenyum seolah-olah wajah temanku itu tampak lucu baginya. Setelah puas memandang temanku, pria itu beralih melihatku. Tak terlihat satu pun ekspresi kaget di wajahnya ketika menatapku. Kemudian ia kembali mengamati temanku. Namun, kali ini fokus perhatiannya tertuju pada kerudung berwarna Putih yang dikenakan di kepala temanku. Aku melihat keterkejutan di ekspresi wajahnya dengan alis mengangkat ke atas, mata melotot, dan mulut menganga. Seakan-akan ia tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Selanjutnya, bola mata pria tampan itu asyik memandangi baju muslim temanku yang berwarna Biru tua dengan celana panjang berwarna senada. Ia pun kembali tersenyum dengan senyuman yang, menurutku, seperti senyuman orang yang sedang mengejek. Merasa dirinya menjadi objek perhatian si pria tampan itu, temanku berusaha bersikap ramah dengan melemparkan sebuah senyuman manis kepadanya. Tetapi sayang, keramahan temanku tidak mendapat respon yang baik. Lelaki itu sengaja mengabaikan senyuman temanku dengan mengalihkan pandangannya ke depan. Tetapi saat temanku tidak lagi menoleh ke arahnya, pria itu menunjukkan ekspresi jijik. Alisnya yang sebelah kanan mengangkat ke atas, bibir menyeringai, sorot mata tampak seperti orang yang sedang ketakutan, dan bahu diangkat ke atas.

Lampu Merah pun berganti dengan lampu Hijau. Temanku kembali melaju sepeda motor bututnya menuju tempat kerjanya di Jalan Magelang. Di tengah perjalanan, temanku berkomentar mengenai sikap pria itu. "Itu udah biasa kok, Er. Ora popo" ujar temanku dengan perasaan lepas tanpa tekanan seolah-olah menyiratkan jika perilaku seperti itu sudah menjadi ‘makanan' sehari-hari.

Sesampainya di perempatan lampu Merah Jalan Tentara Pelajar, temanku sengaja menghentikan sepeda motornya saat lampu Merah. Aku pun kembali menjumpai peristiwa serupa ketika berada di perempatan lampu Merah Jalan Letjen. Suprapto. Namun kali ini jumlah tatapan tidak berasal dari satu orang, melainkan banyak orang. Karena posisi motor temanku itu berada di baris kedua dari depan sehingga orang yang melihat kami tidak hanya pengendara motor yang berada tepat di samping kiri dan kanan kami, tetapi juga yang berada di depan kami yang kebetulan sedang menoleh ke arah kami. Mereka yang menatap kami, khususnya temanku, tidak hanya laki-laki saja, tetapi juga ibu-ibu. Cara mereka menatap temanku sama seperti pria tampan yang kami temui sebelumnya dengan sorotan mata tajam, mengernyitkan alis, mulut menganga, dan sesekali tersenyum yang terkesan sedang mengejek. Bahkan ada seorang ibu yang melihatku dengan tatapan seolah-olah aku adalah orang yang patut dikasihani karena telah berboncengan dengan temanku itu.

Selang beberapa lama kemudian, lampu Hijau pun menyala. Lalu temanku langsung menancapkan gas motor bututnya menuju tempat kerja. Sementara temanku asyik berkosentrasi mengemudikan motornya, pikiranku justru tertuju pada tatapan-tatapan ‘aneh' dari sejumlah pengendara motor yang tadi memandangi kami, terutama temanku. Bagiku, tatapan-tatapan ‘tidak wajar' mereka saat melihat temanku itu sungguh terasa ‘aneh'. Bukan suatu kebetulan belaka jika para pengendara motor memandang temanku dengan menunjukkan satu ekspresi yang sama, yakni ekspresi orang yang sedang terkejut, kaget, dan jijik seolah-olah temanku itu adalah sosok manusia yang ‘berbeda' dari mereka. Lalu timbul satu pertanyaan mendasar dalam benakku, yaitu mengapa mereka menatap temanku seperti itu. Apa yang ada di dalam diri temanku itu sehingga membuat mereka menatap dia seperti itu?

Untuk menemukan jawabannya, aku sengaja melihat wajah temanku dari kaca spion. Sekilas tak ada yang aneh dengan wajahnya. Meski pada beberapa bagian di mukanya, misalnya, hidung, pipi, dan dagu sudah ‘tidak asli' lagi karena telah disuntik silikon, tapi secara keseluruhan wajahnya terlihat sangat cantik dengan polesan bedak, gincu berwarna Merah menyala di bibirnya, perona pipi berwarna Pink, dan eye shadow berwarna Coklat muda. Begitu juga dengan pakaian yang dikenakannya. Ia tampak seperti perempuan muslimah dengan baju muslim yang dikenakannnya lengkap dengan kerudung Putih di kepalanya. Jika dibandingkan antara aku dan temanku itu, aku merasa tidak ada apa-apanya. Aku justru ‘kalah bersaing' dengan dia. Karena aku merasa sangat jelek dihadapannya yang ketika itu sangat cantik dengan make up di wajahnya. Selain itu, baju yang aku kenakan, hanya memakai kaos Putih berlengan panjang dengan celana panjang Levis berwarna Coklat Muda, terkesan ‘kurang muslimah' dibandingkan dengannya.

Aha... Kini aku tahu jawabannya. Tatapan-tatapan ‘tidak wajar' dari para pengendara motor terhadap temanku itu terjadi karena temanku adalah seorang waria alias banci. Ya, teman yang aku bicarakan ini adalah seorang ‘perempuan' cantik yang sering diperolok banyak orang dengan sebutan bencong. Sudah menjadi rahasia umum jika sosok makhluk ciptaan tuhan yang satu ini dinilai ‘berbeda' dari manusia pada umumnya. Kebertubuhannya sebagai seorang waria yang juga manusia selalu dan selalu dipandang sebagai sesuatu yang lain (the other), sesuatu yang berada di luar jenis kelamin dan perempuan. Lalu mengapa hal itu bisa terjadi pada temanku yang nota bene waria?

Kebertubuhan Waria Dari Tiga Disiplin Ilmu: Kedokteran, Psikologi, dan Agama Islam

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama saya akan membahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kebertubuhan. Lalu pembahasan dilanjutkan pada bagaimana kebertubuhan waria itu ditinjau dari perspektif ilmu pengetahuan, dalam hal ini kedokteran, psikologi, dan agama Islam. Saya sengaja meminjam ketiga disiplin ilmu ini untuk mengetahui sampai sejauhmana kebertubuhan waria itu dikonstruksi. Karena tidak menutup kemungkinan jika ‘tatapan-tatapan tidak wajar' dari para pengendara motor kepada teman saya yang nota bene adalah seorang waria merupakan hasil konstruksi ketiga pengetahuan ini yang beroperasi di alam bawah sadar pikiran mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun