Rp500 juta per 5 tahun, suatu besaran yang tidak kecil. Cukup untuk mencicil hunian atau mobil, bisa juga membayar biaya pendidikan anak. Biaya ini diusulkan oleh pihak kepolisian untuk plat mobil yang bisa sesuai nama dan bisa bebas ganjil genap. Murah atau mahal?
Kakorlantas Polri mengusulkan ide ini untuk memaksimalkan pendapatan negara dari instansinya. Tarif di atas juga tarif minimum, bisa lebih tinggi jika banyak peminat plat nama yang sama karena akan melalui sistem lelang.Â
Tujuannya, kelulusan ujian SIM yang selama ini sudah sering menjadi kontroversi itu tidak lagi menjadi target.
Ketika usulan ini muncul di media, seperti biasa muncul kubu pro dan kontra. Kubu pro merasa sudah seharusnya mengincar pendapatan tambahan dari kaum mampu.Â
Sedangkan, kubu kontra merasa hal ini adalah bentuk pemerasan dan ketidakmampuan negara mencari sumber pendapatan. Saya tidak tahu kubu kontra ini memikirkan apa dan bagaimana respon mereka terhadap cukai minuman berpemanis.
Nah, bagaimana dananya akan dimanfaatkan dan memastikannya benar-benar masuk ke kas negara itu urusan lain.Â
Jika dibilang hal ini merupakan pemerasan terhadap kaum mampu, sesungguhnya ini merupakan pilihan yang bersifat privilese. Mau dan mampu, silakan. Tidak mau atau tidak mampu, ya tidak usah.Â
Setidaknya ini bukan penerapan pajak warisan atau tambahan lapisan progresif di pajak pendapatan orang pribadi, yang mungkin dapat mengurangi semangat masyarakat potensial untuk memaksimalkan kemampuannya.
Meskipun demikian, bukan berarti usulan ini tidak memiliki efek samping jika jadi diterapkan. Pertama, bagaimana dengan satu atau dua huruf sebelum angka yang selama ini menjadi penanda asal kendaraan tersebut?Â
Ya, memang cukup banyak kendaraan di daerah menggunakan plat kota besar karena tidak ada dealer merek bersangkutan di sana dan membelinya menitip ke anggota keluarga yang lain.
