Mohon tunggu...
Razak ARK
Razak ARK Mohon Tunggu... -

Ngalap pelajaran dari cerita di Negeri Beton

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Negeri Beton: Jerat Utang Berujung Maut

29 Oktober 2014   07:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:20 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414510670782742786

[caption id="attachment_350530" align="alignnone" width="300" caption="Almarhumah Siswanti semasa hidup"][/caption]

Jumat, 24 Oktober 2014. Melalui situs resminya, Apple Daily, media lokal berbahasa Kantonis di Hong Kong memberitakan, seorang pekerja rumah tangga asing asal Indonesia bernama Siswanti meninggal dunia. Perempuan berusia 38 tahun itu diduga bunuh diri dengan cara melompat lewat jendela kamar flat lantai 21 milik majikan tempatnya bekerja. Media tersebut juga memberitakan, Siswanti memilih mengakhiri hidupnya dengan cara mengenaskan seperti itu karena putus asa terjerat utang hampir HK$100,000!

Petikan berita itu kemudian dimuat di fanpage facebook Apakabar Plus, sebuah tabloid dwimingguan berbahasa Indonesia yang terbit di Hong Kong. Walhasil, melalui komentarnya, banyak pembaca yang mempertanyakan, “Kok bisa, BMI (buruh migran Indonesia) punya utang sampai HK$100,000?” Pertanyaan lain, “Untuk apa saja uang sebesar itu?”

Ya, ko bisa sampai berutang hingga segitu banyak?

Pekerja migran Indonesia di Hong Kong, dengan profesi sebagai pekerja rumah tangga, bergaji HK$4,110 (setara Rp6,395,160 dengan kurs tanggal 28 Oktober 2014: HK$1 = Rp1,556) per bulan. Hal itu berdasarkan ketetapan Pemerintah Hong Kong, per tanggal 1 Oktober 2014. Sebelumnya, sejak 1 Oktober 2013, gaji pekerja rumah tangga asing di Hong Kong adalah HK$4,010 per bulan.

Dengan gaji mencapai enam jutaan per bulan, seorang pekerja migran Indonesia masih harus terjerat utang hingga seratus ribu dolar Hong Kong!

Pertanyaan pertama, kebutuhan apa yang “menyiksa” Siswanti hingga ia harus terpaksa berutang hingga jumlah sefantastis itu? Atau, tuntutan apa yang disodorkan keluarganya di kampung, sehingga warga asal Desa Jenggolo, Kecamatan Kepanjen, Malang, Jawa Timur, ini harus berutang dengan jumlah yang melewati kesadaran akal sehat ini?

Akal sehat?

Ya, akal sehat!

Akal sehat memang dibutuhkan bantuannya untuk menjelaskan, mengapa seorang pekerja migran Indonesia di Hong Kong bisa berutang hingga segitu banyak.

Secara akal sehat, meminjam uang tentu saja harus berhitung kemampuan bayar cicilan tiap bulan. Berdasarkan kontrak kerja yang ditandatanganinya, Siswanti bergaji HK$4,010 per bulan.

Dengan utang sebesar HK$100,000, misalnya, untuk kurun waktu 24 bulan, sesuai masa berlaku kontrak kerja, ia harus menyicil utang HK$4,167 per bulan. Jumlah itu jelas melebihi gajinya! Jika akal sehat diperbantukan untuk berhitung, kecuali memiliki pemasukan tambahan, Siswanti pasti akan kesulitan melaksanakan kewajiban untuk menyicil utangnya tiap bulan. Sebab, tentu dia memiliki kebutuhan lain di luar pembayaran cicilan. Baik kebutuhan harian, mingguan, maupun bulanan.

Lalu, mengapa ia sampai memaksakan diri berutang hingga segitu banyak?

Kita tak pernah tahu pasti apa yang “memaksa” Siswanti berutang hingga seratus ribu dolar Hong Kong. Yang pasti, kematian pekerja migran Indonesia yang bekerja di daerah Tai Po itu telah meninggalkan pelajaran berharga kepada pekerja migran Indonesia lainnya di Negeri Beton.

Ya, pelajaran untuk cermat mengelola uang gaji dan pelajaran untuk lebih bijak dalam berutang. Bijak, dengan memperbantukan akal sehat dalam berhitung beban jumlah cicilan bulanan sebelum memutuskan untuk berutang.

Jenazah almarhumah akan dimandikan dan dishalatkan di Muslim Cemetery, Happy Valley, Hong Kong, pada hari Selasa, 4 November mendatang. Selanjutnya, jenazah akan dipulangkan ke Tanah Air untuk dikebumikan ke pelukan Ibu Pertiwi.

Semoga, kita yang masih hidup tidak menyia-nyiakan pelajaran yang diperoleh dari berita kematian Siswanti.

“Allahummagfirlaha, warhamha, wa’afiha, wa’fu’anha...”

#Ini cerita dari Negeri Beton. Cerita tentang ratusan ribu pekerja migran Indonesia yang sedang berjuang memperbaiki nasib. Merantau, terpaksa berjarak dari orang-orang tercinta dan segala entitas penuh nostalgia di kampung halaman. Cerita tentang bulir-bulir amarah, kecemasan, keputusasaan, kebingungan, kesengsaraan, kegalauan, sekaligus kebanggaan, kepuasan dan kebahagiaan yang menjadi satu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun