Bagaimana Singapura Mengemas Kebudayaan: Antara Profitabilitas dan Identitas BudayaSingapura dikenal sebagai negara dengan strategi kebudayaan yang berbasis ekonomi.  Pemerintahnya tidak hanya membangun fasilitas seni dan budaya untuk kepentingan masyarakat lokal, tetapi juga untuk menarik wisatawan dan ekspatriat, yang berkontribusi pada ekonomi kreatif. Pendekatan ini mencerminkan cultural economy, di mana kebudayaan dikemas sebagai produk ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan tidak hanya semata mata sebagai identitas sebuah bangsa  (Throsby, 2001). Tetapi sebagai  faham kebudayaan yang bermanfaat (Permana. M.I.J, 2025)
Singapura: Negara atau Korporasi
Dalam banyak diskusi, Singapura sering disebut sebagai Singapore Incorporated, sebuah negara yang beroperasi layaknya korporasi besar dengan orientasi profit. Pendekatan ini terlihat dalam kebijakan budaya mereka, di mana investasi dalam infrastruktur seni dan budaya dilakukan bukan semata-mata untuk melestarikan tradisi, tetapi untuk meningkatkan daya tarik ekonomi (Chong, 2010). Begitu kuatnya orientasi bisnis mereka dalam meningkatkan Profit.
Esplanade: Gedung Opera di Negara Pecinta Film Kungfu
Siapa tak kenal Esplanade  bangunan ikonik gedung opera dengan arsitektur berbentuk buah durian, sebagai raja buah di Asia Tenggara.
Meskipun masyarakat Singapura lebih banyak menikmati film kungfu seperti Jet Li, pemerintah tetap membangun Esplanade -- Theatres on the Bay, sebuah gedung opera megah yang setara dengan Sydney Opera House. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Singapura adalah hub perdagangan dunia, dengan banyak ekspatriat dari Eropah, Amerika, dan Asia Tengah yang memiliki preferensi terhadap musik klasik dan opera (Kong, 2007). Â Agar mereka tidak perlu libur atau cuti ke negaranya hanya untum menonton orchestra, dan opera.
Pendapatan Esplanade dari penjualan tiket pada tahun 2023 mencapai sekitar 3,83 juta dolar Singapura , menunjukkan bahwa investasi dalam seni pertunjukan memang memberikan keuntungan ekonomi. Hal ini sejalan dengan konsep cultural capital, di mana kebudayaan dapat menjadi aset ekonomi yang bernilai tinggi (Bourdieu, 1986).
Garden by the Bay: Solusi untuk Kota Tanpa Halaman
Singapura memiliki lahan yang terbatas, sehingga masyarakatnya sebagian besar masyarakatnya  tinggal di  flat  dan apartemen tanpa halaman.  Bertanam bunga atau pisang di halaman adalah sesuatu hal yang sangat istimewa bagi kelas menengah ke bawah Singspura, terutama karena keterbatasan lahannya, hanya orang Singapura yang sangat kaya saja, yang mempunyai lahan dan halaman untuk berkebun.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, pemerintah membangun Garden by the Bay, sebuah taman futuristik yang mengoleksi berbagai jenis tanaman dari berbagai musim. Konsep ini tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, tetapi juga menjadi destinasi wisata unggulan dari seluruh dunia, yang berkontribusi pada pariwisata dan ekonomi hijau (Newman & Matan, 2013).
Orang Melayu Tak Cakap Melayu: Identitas yang Terkikis.
Singapura adalah bangsa Melayu yang memisahkan diri dari induknya (spin off ) dari Persekutuan Tanah Melayu Malaysia.
Menurut catatan Sir Stamford Raffles, Singapura didirikan oleh Parameswara, seorang pangeran dari Palembang, Â Pangeran Sriwijaya terakhir yang bedol desa ke Temasek dan Melaka, Â kemudian membangun Kesultanan Melaka
 Namun, dalam perkembangan modern, identitas Melayu di Singapura semakin terkikis, dengan banyak masyarakat Melayu yang tidak lagi menggunakan bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari. Atau penduduk Singapura yang beretnis China dan India  tidak begitu fasih menggunskan bahasa  Melayu Singapura. Tetapi mereka menggunakan Singlish  bahasa Inggris dengan dialog Hokian.