Setelah kabar e-mail itu, suasana keruh karena saya pura-pura tidak membacanya. Tak mau pula menjadi pemicu amarah. Saya banyak mengalah agar emosi tak meledak sewaktu-waktu.
Menjaga suasana damai itu bak membersihkan kristal di tangan. Ekstra hati-hati. Akhirnya saya lelah menghadapinya.
Karena ancaman itu pula, saya tawar hati. Cinta enggan, benci kutahan! Tapi usaha saya adalah menendangnya dari hati. Caranya?
Apatis, cuek bebek. Seolah tak menganggap kehadirannya.
Alhasil cara ini manjur. Sedikit demi sedikit berbuah manis. Ia ngelike seorang wanita yang disinyalir gebetan barunya. Dikira saya akan berontak, ah gak juga. Sewot dong doi. Syukurlah dia gak jagi bunuh diri. hehe
Menghadapi seseorang berperangai seperti Ray butuh kesabaran. Kita yang memutuskan hubungan jangan sampai melukai. Tinggalkan dia dengan cara-cara yang elegan, terpuji, supaya tidak menjadi bulan-bulanan sehingga patah hati.
Memutuskan pacar itu gak enak. Tidak damai. Takut di-stalking, dikintil kemana-mana.
Saya bersyukur Ray punya pacar baru. Sejujurnya saya kasihan pada perempuan itu. Bisa jadi ia akan mengalami peristiwa sama seperti yang terjadi padaku. Tapi apa guna, bukan urusan.
Jika Ray mengancam bunuh diri, lain halnya dengan Boy. Boy lebih sadis, ia menggunakan cara guna-guna saat Erni niat meninggalkannya.
Erni kawan dekatku, ayu dan cerdas, anak tunggal dari orang tua kaya raya. Boy cukup tampan, matre, dari kalangan keluarga sederhana. Ide apa gerangan dibenaknya, kok mengguna-gunai Erni?
Saya gak bahas cara dia menggunakan black magic itu. Serem. Namun apa yang terjadi?