Mohon tunggu...
Catherin YMT
Catherin YMT Mohon Tunggu... Bankir - Female

An INFP Woman*Chocoholic*Pink Lover*Potterhead*Book Worm* Central Banker - Economic Analyst Email: catherinymt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keseragaman atau Keberagaman

14 Juni 2019   11:43 Diperbarui: 24 Juli 2019   15:09 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:whatswithinu.com

Seragam, kalau dengar kata itu saya biasanya langsung teringat jaman sekolah dulu. Sejak SD sampai SMA ke sekolah tiap hari harus memakai pakaian seragam. 

Seragamnya ga tanggung-tanggung, kembaran dengan ratusan ribu bahkan jutaan anak sekolah lain di seluruh Indonesia. Anak SD di seluruh Indonesia pakaiannya sama, kemeja putih dan celana/rok merah. 

Modelnya pun sama persis, tidak diperbolehkan untuk tampil 'nyeleneh' dengan menambahkan aksen renda-renda misalnya, atau model lengannya diganti jadi mengembang. Tidak boleh, harus sama.

Keseragaman dituntut tidak hanya baju dan rok, tapi juga sepatu, kaos kaki, topi, dan dasi. Sepatu harus hitam, dan kaos kaki harus putih. Tidak boleh ada warna-warninya. Hal itu berlanjut terus sampai kita menamatkan pendidikan SMA. 

Yang artinya dari usia 6 tahun, sampai 18 tahun. Selain pakaian, model rambut juga diatur, baim panjangnya maupun warnanya. Jangan coba-coba mewarnai rambut saat masih sekolah. Anak laki-laki juga harus rutin mencukur rambutnya, jangan sampai kepanjangan, nanti bisa dibotakin sama guru BP.

Saya pernah bertanya kepada orangtua dan guru saya. Apa tujuannya kita harus memakai seragam seperti itu? Jawabannya memang cukup masuk akal dan tujuannya baik. Yaitu agar tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin. 

Semuanya berpakaian sama dari ujung kepala sampai ujung kaki. Selain itu pakaian seragam juga dimaksudkan untuk melatih kedisiplinan siswa dalam berpakaian. Harus sopan, rapi, dan teratur.

Itu adalah kebijakan, dan pemikiran yang mendasarinya. Namun, seperti halnya semua kebijakan yang ada, pasti ada dampak positif dan negatif dalam penerapannya. Pernahkah kita berpikir kenapa anak-anak SMA yang baru lulus merayakannya dengan mencoret-coret baju seragam mereka pakai cat warna-warni. 

Atau, berdasarkan pengalaman saat lulus SMA dulu, teman-teman saya banyak yang langsung mengecat pirang rambutnya, awbagai tanda kebebasan atas aturan yang mengekang mereka selama belasan tahun.

Kita bandingkan dengan beberapa negara maju, khususnya di luar Asia, anak sekolah tidak memakai pakaian seragam. Mereka pergi ke sekolah dengan menggunakan pakaian bebas seperti layaknya anak kuliahan di negara kita.  

Mungkin banyak yang berargumen, yah, tidak bisa dibandingkan begitu, karena disana negara maju dimana kemampuan ekonomi masyarakatnya merata. Jadi relatif tidak ada isu soal jurang antara si kaya dan si miskin.

Bila kita mau memandang dari satu sisi itu memang benar, kebijakan penyeragaman adalah hal yang baik. Namun sadarkah kita bahwa ternyata kita sendirilah yang telah membatasi kreativitas anak-anak itu. Sekarang rasanya semua orang berlomba-lomba untuk memotivasi anak muda untuk berpikir kreatif. 

Ayo, ciptakan sesuatu yang baru, bikin inovasi, jadi enterpreneur muda, jangan selalu bercita-cita jadi ASN (yang identik dengan pakaian seragam juga), biar tidak kalah saing dengan negara lain.

Bukan bermaksud pesimis, tapi hal itu akan sangat sulit. Kenapa? Ya karena sejak kecil mereka sudah 'dipaksa' seragam. Sistem menciptakan sebuah 'cetakan' yang rigid. Jangan heran jika kemudian cita-cita anak-anak juga relatif sama. Mau jadi dokter, insinyur, guru, polisi, pilot, atau tentara. 

Mereka sulit untuk menemukan dirinya sendiri dengan segala keunikan yang membedakan mereka dari orang lain. Seolah-olah menjadi berbeda adalah hal yang menakutkan. Jelas saja, karena persoalan pakai kaos kaki dengan warna selain putih saja bisa berisiko kena hukuman oleh guru.

Saya pernah membaca sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa orang-orang Asia cenderung memiliki kepribadian dan cara berpikir yang relatif sama dengan lingkungannya. Jika dia lahir di keluarga yang religius, maka anak itu pun akan tumbuh menjadi seorang yang religius pula. Sangat mudah diidentifikasi. 

Berbeda dengan negara-negara barat, dimana setiap orang bisa punya kepribadian yang sangat beragam, walaupun mereka dibesarkan di lingkungan yang sama. Hal ini berangkat dari pola asuh kita yang memang sangat berbeda dengan mereka.

Setiap anak diberikan pemahaman bahwa mereka adalah seorang pribadi mandiri yang berbeda dari manusia manapun di dunia ini. Tidak ada manusia lain yang persis sama seperti dia. Karena itu dia adalah unik, berbeda, dan punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. 

Jadi jangan heran bila kemudian anak-anak ini akan tumbuh menjadi orang dewasa yang pintar berinovasi dan unggul dari orang lainnya. Keseragaman belum tentu baik, karena sejatinya kita diciptakan dalam keberagaman.

"The things make me different, are the things that make me" - Winnie The Pooh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun