Mohon tunggu...
Carolina Adak
Carolina Adak Mohon Tunggu... Apoteker - A long life learner

Apoteker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Piring Kaca

18 Juni 2017   12:57 Diperbarui: 18 Juni 2017   13:17 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan rintik sore itu menyambut kedatangan Esi di bandara. Baju kaos kuning bergambar seekor kelinci seakan tak mampu menghalau rasa dinginnya. Esi berjalan menggiring koper dengan sebuah tas jinjing ditangannya. Didalamnya terdapat nastar buatan ibunya untuk diberikan kepada keluarga pak Edy yang akan ditemuinya. Esi datang ke kota yang tak ada satupun familinya. Pak Edy adalah keluarga temannya yaitu Vila yang bersama-sama hendak melanjutkan sekolah. Sungguh Esi tak pernah bertemu mereka sekalipun juga.

Sudah hampir dua jam Esi menunggu dan hampir semua penumpang yang tadi bersamanya telah dijemput oleh keluarganya masing-masing. Esi sangat berharap Villa dan pak Edy segera datang, namun tahu diri lebih dulu menyadarkannya. Esi terdiam, menunggu. Dinginnya Bandung seketika hilang, kala hangat tubuhnya mulai terasa akibat dari air mata yang perlahan menetes. Tangannya bergetar, tak ada suara dari mulutnya. Ia merindukan keluarganya dalam dingin dan tangis yang kentara.

"Esi" suara Villa menyadarkannya dari lamunan dan tangisnya

Esi mendongak, dilihatnya Villa melambaikan tangan diseberang jalan degan sebuah kijang innova disampingnya. Esi segera bangun dan dengan cepat menuju kearah Villa.

"Maaf membuatmu menunggu lama, tadi dijalanan macet sekali" ujar Villa saat Esi tiba tepat dihadapannya

" Ah, tidak masalah. Jangan dipikirkan"jawab Esi setengah berbohong

"Ayo masuk ke mobil, om dan tanteku ada di dalam"

Jantung Esi berdegup kencang saat ia membuka pintu mobil. Tampilan istri pak Edy begitu glamour. Baju berwarna abu-abu berbahan halus dipadukan dengan skiny jeans dan higheels warna senada. Jam tangan dari Sophie Paris melingkar manis dipergelangan tangannya. Tak lupa tas ZARA coklat berukuran cukup besar duduk manis disampingnya.Wangi parfumnya pun segera tercium saat Esi masuk ke dalam mobil. Sedangkan pak Edy sendiri, bergaya lebih santai dengan baju kemeja biru muda dan celana jeansnya. Dan, Sony seorang bocah cilik yang cukup gendut yang sedari tadi mengunyah donat coklat duduk di kursi paling belakang.

"Selamat sore om dan tante, perkenalkan saya Esi" ujarnya sambil menjabat tangan pak Edy dan istrinya secara bergantian

"Hallo Esi, senang bisa berjumpa" jawab pak Edy singkat, disusul senyuman dari istrinya

"Ini ada sedikit hadiah dari keluarga saya sebagai bentuk ucapan terima kasih atas kebaikan om dan tante" lanjut Esi sambil menyodorkan nastar yang dibawahnya kepada istri pak Edy.

"Wah, tidak usah repot-repot, santai saja. Tapi terima kasih ya" sahut istri pak Edy

Hujan turun semakin deras saat Esi dan keluarga pak Edy meninggalkan bandara. Kota ini baru baginya, begitu asing.

Seminggu sudah Esi bersama keluarga pak Edy, hingga suatu malam saat ia sedang membersihkan cumi-cumi yang dibeli oleh pak Edy, ia menyadari bahwa ada begitu banyak piring kaca berderet rapi di rak sebelah kanan wastafel. Esi teringat akan percakapan antara bapak dan ibunya saat Esi masih duduk dikelas tiga SMA.

"Pak, kenapa hari ini tidak mengantar anak bu Wati ke sekolah?"

"Lelah bu."

"Sakit?"

"Hampir sakit. Bahkan mati."

"Maksudmu?"

"Hampir mati karna malu bu. Pak Haryo semalam ditangkap terkait penggelapan uang dikantornya. Katanya difitnah, tapi bukti mengarah jelas."

"Yang benar pak? Tapi kenapa bapak yang malu?"

" Langganan ojek ku tiap hari itu anak pak Haryo dan bu Wati. Beras, sekolah Esi dan sabun mandi, kita beli pakai uang yang diberi bu Wati yang berasal dari pak Haryo. Kita turut menikmati uang korupsi bu, malu."

" Malulah terus pak.Tapi sungguh tak akan ada gunanya. Kita sudah bertahun-tahun makan nasi dari uang hasil ojekmu sama anak bu Wati, mau kau muntahkan kembali nasi itu dari dalam perutmu? Atau kau jual saja ijasah Esi, katakan pada gurunya selama ini uang yang dipakai buat bayar SPP itu haram."

"Pikiranmu sebegitu dangkalnya bu. Apa yang diberi buat kita itu jauh lebih sedikit jumlahnya dari apa yang sudah pak Haryo ambil dari kita. "

"Oh, jadi mau menyalahkan pak Haryo kalau bapak cuma jadi tukang ojek dan hidup miskin? Sekolah saja cuma tamatan SMP pak. Bukan salah pak Haryo kan itu? Sudahlah, ini semua sudah terjadi. Esi sekolahnya hampir selesai dan kita masih bisa makan"

"Kau memang istriku yang doyan pakai piring kaca daripada piring plastik bu, asal pakai tak peduli asalnya darimana. Dan sepertinya kau yang lebih sakit bu, urat malumu putus dan tak kau sadari itu. Hati-hati!"

Esi tersadar dari lamunannya saat Sony, anak pak Edy berlari-lari sambil memangil ayah dan ibunya. Dari dapur Esi mendengar kalau tetangga sebelah, pak Cahyadi ditemukan tewas bunuh diri dalam kamar mandi. Pak Edy dan istrinya langsung ke tempat kejadian. Sudah banyak warga berkerumun disana, namun garis polisi mengelilingi rumah pak Cahyadi. Para tetangga pun mulai mengeluarkan bahasa mereka masing-masing. Ada yang bilang, pak Cahyadi mungkin mungkin malu karena profesinya sebagai pengacara belakangan hanya mengusut kasus kecil saja dan selalu membela klien yang jelas bersalah.

"Namanya pengacara bu, yah tugasnya memang begitu. Banyak parlente buat tunjukkan kualitas diri. Kalau nggak terima juga mau dapat uang dari mana? Mau salah atau benar juga bakalan diembat"

"Yak kan ada pengacara berintegritas bu."

"Langka lho bu"

Begitulah sekilas percakapan antara ibu-ibu di depan rumah seorang yang mati bunuh diri.

Esi kembali ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Masih terngiang dipikirannya akan perkataan ibu-ibu tadi. Kalau benar begitu, berarti pak Cahyadi sama seperti apa yang dikatakan bapaknya pada ibunya. Hanya agar dapat menggunakan piring kaca, pak Cahyadi menerima semua klien dan membelanya.

"Ah, mengerti apa aku akan hal ini? Hanya anak ingusan yang baru masuk ke perguruan tinggi. Belum belajar banyak mengenai profesi ini. Lagian ibu-ibu tadi juga belum tentu benar. Mereka juga sepertinya adalah ibu-ibu dengan jenis yang klasik. Suka nonton sinetron beribu-ribu episode dan bergosip sehabis masak. Asal bunyi tanpa akar" gumam Esi dalam hatinya

Esi memejamkan matanya dan bersuara

"Semua hal itu mungkin tidaklah benar adanya. Satu yang pasti, aku kini tinggal di rumah seorang wanita, yang menceraikan suaminya karena tak mampu membelikannya lipstic Botanica lalu menikahi pria lain yang lebih layak jadi ayahnya."

Semua hanya soal manusia yang berlomba-lomba memakai piring kaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun