" Malulah terus pak.Tapi sungguh tak akan ada gunanya. Kita sudah bertahun-tahun makan nasi dari uang hasil ojekmu sama anak bu Wati, mau kau muntahkan kembali nasi itu dari dalam perutmu? Atau kau jual saja ijasah Esi, katakan pada gurunya selama ini uang yang dipakai buat bayar SPP itu haram."
"Pikiranmu sebegitu dangkalnya bu. Apa yang diberi buat kita itu jauh lebih sedikit jumlahnya dari apa yang sudah pak Haryo ambil dari kita. "
"Oh, jadi mau menyalahkan pak Haryo kalau bapak cuma jadi tukang ojek dan hidup miskin? Sekolah saja cuma tamatan SMP pak. Bukan salah pak Haryo kan itu? Sudahlah, ini semua sudah terjadi. Esi sekolahnya hampir selesai dan kita masih bisa makan"
"Kau memang istriku yang doyan pakai piring kaca daripada piring plastik bu, asal pakai tak peduli asalnya darimana. Dan sepertinya kau yang lebih sakit bu, urat malumu putus dan tak kau sadari itu. Hati-hati!"
Esi tersadar dari lamunannya saat Sony, anak pak Edy berlari-lari sambil memangil ayah dan ibunya. Dari dapur Esi mendengar kalau tetangga sebelah, pak Cahyadi ditemukan tewas bunuh diri dalam kamar mandi. Pak Edy dan istrinya langsung ke tempat kejadian. Sudah banyak warga berkerumun disana, namun garis polisi mengelilingi rumah pak Cahyadi. Para tetangga pun mulai mengeluarkan bahasa mereka masing-masing. Ada yang bilang, pak Cahyadi mungkin mungkin malu karena profesinya sebagai pengacara belakangan hanya mengusut kasus kecil saja dan selalu membela klien yang jelas bersalah.
"Namanya pengacara bu, yah tugasnya memang begitu. Banyak parlente buat tunjukkan kualitas diri. Kalau nggak terima juga mau dapat uang dari mana? Mau salah atau benar juga bakalan diembat"
"Yak kan ada pengacara berintegritas bu."
"Langka lho bu"
Begitulah sekilas percakapan antara ibu-ibu di depan rumah seorang yang mati bunuh diri.
Esi kembali ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Masih terngiang dipikirannya akan perkataan ibu-ibu tadi. Kalau benar begitu, berarti pak Cahyadi sama seperti apa yang dikatakan bapaknya pada ibunya. Hanya agar dapat menggunakan piring kaca, pak Cahyadi menerima semua klien dan membelanya.
"Ah, mengerti apa aku akan hal ini? Hanya anak ingusan yang baru masuk ke perguruan tinggi. Belum belajar banyak mengenai profesi ini. Lagian ibu-ibu tadi juga belum tentu benar. Mereka juga sepertinya adalah ibu-ibu dengan jenis yang klasik. Suka nonton sinetron beribu-ribu episode dan bergosip sehabis masak. Asal bunyi tanpa akar" gumam Esi dalam hatinya