Memaknai era baru bagi Nurul (Teman yang saya samarkan namanya) adalah memulai kehidupan baru di rumah petak yang dia sewa di pinggiran kota Bandung, bersama kedua buah hatinya yang beranjak remaja. Bulan ini Nurul resmi menjadi single mom. Kabar perceraian Nurul saya terima dua hari lalu sebelum weekend melalui whatsapp. Nurul sendiri yang mengabarkan ke saya. Tinggal menunggu akta cerainya. Begitu tulis Nurul.
Sampai di titik ini, bukanlah perkara mudah bagi semua yang terlibat. Baik untuk Nurul dan mantan suaminya, bagi anak-anak mereka dan bagi kedua keluarga besar yang dulu terikat dengan perkawinan mereka. Termasuk bagi saya, walau pun saya hanya sekedar manusia pasif yang sering kali saya menjadi 'tong sampah' mendengar keluh kesah Nurul. Menjadi saksi pejuangan Nurul untuk mempertahankan perkawinannya. Tidak dinafkahi, iya. KDRT, Iya. Diselingkungi, pernah. Paket kumplit- lah. Jika mendengar ceritanya, tentu akan merasa capek dan geram. Tetapi ketika Nurul mengabarkan tentang perceraiannya, saya tidak tahu harus berkata apa. Alhamdulillah atau astagfirullah? Saya sendiri pun bingung menyikapi kondisi ini. Dalam benak saya (dan mungkin saya didoktrin seperti itu) bahwa perceraian adalah musibah. Sama dengan berita duka. Tetapi melihat Nurul bahagia dengan keputusannya itu, saya turut bahagia.
"Dulu saya bertahan demi anak-anak Bi," kata Nurul. Sore itu di rumah petak yang akan ditinggali. Anak-anak masih dititipkan di orang tua Nurul. Saya membantu yang bisa saya lakukan.Â
"Sekarang kamu bercerai demi mereka pula," potong saya.
Nurul tertawa mendengar komentar saya yang memotong kata-katanya. "Oh iya ya... semua demi mereka." Ujarnya. "Dulu saya pikir jika anak-anak memiliki keluarga yang utuh mereka akan lebih baik. Tetapi melihat mereka tumbuh dengan kondisi seperti ini, rasanya gak baik juga. Saya ingin mereka bahagia."
"Dan saya ingin melihat kamu bahagia..." ujar saya. Sungguh-sungguh.
Sejenak kami flash back pada masa-masa kelam itu tetapi kami tak ingin berlama-lama bernostalgia dengan luka. Selebihnya kami mulai membahas apa yang akan dilakukan. Menyongsong era baru yang penuh suka cita dan harapan. Meskipun keadaan tidak mudah juga, apalagi didera masa pagebluk ini.
Dari rumah petak ini, Nurul akan lebih fokus berjuang sebagai reseller berbagai barang. Saya masih ingat, awal pertama Nurul berjualan melalui status whatsapp-nya. Menjual berbagai makanan ringan. Saya pikir Nurul hanya iseng saja dengan mengunggah berbagai macam makanan itu. Sampai status whatsapp Nurul seperti jejak benang yang menjelujur kain. Tetapi berkat keuletannya bisa menyelamatkan kehidupan Nurul dan anak-anaknya. Rasanya saya juga harus belajar banyak dari Nurul. Berikut saran dari Nurul untuk ekspansi bisnisnya:
- Buat akun di market place
- Ikuti kursus online (kenapa online? selain untuk berpartisipasi memutus si Covid-19 cocok di harga,waktu, jarak dan fleksibel)
- Punya mentor.
- Belajar
- Belajar
- Dan terus belajar
Takjub saya mendapat petuah dari Nurul. Takjub akan ketangguhannya. Melihat pandemi bukan untuk dibuat galau, tapi menjadi momentum kebangkitan. Belajar dan belajar. Betul. Kegiatan kami didominasi  dengan dunia per-online-an.
Untuk mendukung itu semua, tentu kami memerlukan provider yang menangkap kegelisahan kami sebagai perempuan-perempuan yang harus menaklukan dunia. Kalau saya dan Nurul sepakat untuk menggunakan provider tri dalam setiap aktivitas kami. Ini adalah alasan utama saya dan Nurul menggunakan Tri:
- Masa aktif yang lama. 360 hari. Owalah... perempuan penakluk dunia ada yang pernah mengalami kartu hangus karena lupa isi pulsa? Well, saya akui saya pernah. Nurul juga sama. Boleh disebut kamu terlalu multitasking atau multitalenan? Sampai kartu hangus. Karena kejadian ini, kami mencari kartu yang everlasting. Hilang dari peredaran karena kesalahan sendiri.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!