Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seks Menyimpang adalah Juga Kekerasan Seksual

10 November 2021   08:47 Diperbarui: 10 November 2021   08:53 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illiza Sa'aduddin Djamal, Foto dengan Latar Belakang Cut Nyak Dhien, Pahlawan Nasional (Foto Bunda)

Anggota Komisi X DPR RI Illiza Sa'aduddin Djamal, mewakili Fraksi PPP, lantang bersuara meminta Mendikbudristek RI, Nadiem Makarim atau Mas Menteri, agar meninjau kembali (evaluasi) Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditekennya.

Interupsi Illiza terhadap peraturan tersebut bukan tanpa dasar. Bahkan politisi asal Aceh itu justru memiliki pandangan jauh kedepan, mengkuatirkan sesuatu yang buruk berpotensi terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Alih-alih peraturan ini mencegah kekerasan seksual, malah membuka peluang terjadinya penyimpangan seksual yang bertentangan dengan Islam dan Undang-undang Dasar 1945.

Diksi Kekerasan Seksual yang didefinisikan dalam Permendikbud 30/2021 masih bias dan kontradiktif dengan semangat menghapus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang konon saat ini sedang marak terjadi. Sepertinya Kemendikbud tidak mengadopsi sama sekali perspektif umat Islam dalam memandang penyimpangan seksual yang juga tergolong kekerasan dalam bidang syahwat.

Jika diksi kekerasan ini kita lekatkan pada seksual sehingga membentuk frasa "kekerasan seksual", maka yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah semua tindakan yang mengandung "unsur aniaya" yang berorientasi pada kasus seksual. Tentu definisi ini masih tergolong prematur khususnya bila dikaitkan dengan syariat.

Padahal Islam menempatkan penyimpangan seksual seperti LGBT, perzinahan (meski dilakukan secara suka sama suka), sebagai tindakan kekerasan seksual karena menimbulkan kezaliman dan kemaksiatan. Namun dalam Permendikbud No 30 Tahun 2021 justru tidak menyoalkan. Disinilah letak masalahnya, sehingga Illiza Sa'aduddin Djamal dan Fraksi PPP meminta untuk dilakukan evaluasi.

Apalagi sebagai negara Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejatinya itu menjadi filosofi dasar dalam membuat segala aturan dan kebijakan negara. Artinya seluruh perihal yang tidak sejalan dengan ajaran Tuhan, maka harus ditolak.

Saya sependapat dengan apa yang dikatakan Illiza, "Sebaiknya Permendikbud yang telah dikeluarkan itu dievaluasi kembali atau dicabut Karena peraturan ini secara tidak langsung dapat merusak standar moral mahasiswa dilingkungan perguruan tinggi".

Tidak hanya mahasiswa, bahkan dosen dan Tenaga Kependidikan (Tendik) yang setiap hari bergaul dan bertemu, rentan terjerumus dalam hubungan terlarang jika saja alasan suka sama suka tidak dipersoalkan. Sayangnya Permendikbud 30/2021 secara eksplisit bisa menerima perbuatan semacam itu. Bukankah itu zina?

Memang, kita akui setiap aturan yang dibuat bertujuan untuk kebaikan. Kita setuju bahwa kampus sebagai wadah pendidikan harus terbebas dari kekerasan seksual. Tetapi tolong maknai kekerasan seksual tersebut secara rasional dan proposional. Itulah saya kira yang diinginkan oleh Illiza dan kawan-kawan Komisi X Fraksi PPP. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun