Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Raja Jokowi", Politik Sensasi dan Ancaman Disintegrasi

15 November 2018   14:44 Diperbarui: 15 November 2018   17:05 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir dua bulan lebih sejak masa kempanye kontestasi pemilu presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 dimulai, situasi politik di tanah air masih terkendali meskipun tensinya meningkat tajam. Suasana panas menjelang masa pencoblosan yang akan berlangsung pada April 2019 tahun depan sebagai penentuan kemenangan, menjadi pendorong terjadinya persaingan ketat antar kubu.

Saling ngotot untuk terpilih menjadi the next president Republik Indonesia terlihat jelas sepanjang masa kempanye yang kini sedang berlangsung. Masing-masing kubu dan tim nasional kandidat sebagai mesin pemenangan pasangan yang diusung,  berupaya keras mengeluarkan jurus-jurus jitu untuk meraih dukungan rakyat.

Berbagai macam taktik dan strategi pun dijalankan oleh tim pemenangan. Serangan-serangan terus ditingkatkan untuk melemahkan lawan politiknya. Mulai dari serangan yang sifatnya soft sampai serangan keras kerap dilakukan oleh para capres/cawapres.

Situasi saling serang tersebut memang bukanlah hal aneh dalam dunia politik. Apalagi dalam konteks kontestasi, upaya meraih pengaruh yang lebih luas dari pemilih menjadi salah satu target para calon. Untuk mewujudkan tujuan tersebut strategi pun dilaksanakan dengan sistematis dan terukur.

Salah satu strategi yang sering digunakan dalam dunia politik praktis adalah komunikasi. Komunikasi menjadi alat utama dan sangat penting dalam mempengaruhi publik. Melalui pengembangan konten dan teknik yang tepat, komunikasi menjadi lebih efektif dan berdampak.

Meskipun strategi komunikasi massa besar pengaruhnya terhadap persepsi dan pandangan publik, namun politisi sering kali abai terhadap cara berkomunikasi yang mereka jalankan serta dampaknya. Lihatlah bagaimana elit politik Indonesia berkomunikasi. Pendapat saya selain gayanya yang sering tidak menarik, terlebih isi pembicaraannya lebih banyak bualan alias kosong gagasan.

Ntah itu disengaja atau tidak, yang jelas hari-hari publik disuguhkan dengan berbagai diksi dan narasi tanpa makna dari elit politisi. Sekaliber orang nomor satu dinegeri ini pun ikut latah melemparkan diksi dan narasi nyinyir kepada rakyatnya. Semestinya ia bisa menempatkan diri pada posisi suri tauladan bangsa.

***

Menarik acara yang saya nonton tadi malam (Rabu, 14/11/2018) pukul 21:00 Wib di KompasTV, program Satu Meja yang dipandu oleh Budiman, dalam pengantarnya hos handal itu mengatakan hampir genap dua bulan masa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2019 bergulir.

Riuh rendah pertarungan politik pun terus mengisi ruang publik. Seakan miskin narasi, para elit justru berlomba melontarkan beragam diksi. Dari mulai istilah cebong, kampret, tampang boyolali, genderuwo, "buta-budek", hingga politik cabai.

Meski menuai kontroversi, nyatanya kehadiran diksi politik justru menjadi perhatian publik. Sejatinya, ajang kontestasi adalah panggung adu argumentasi berbasis ide dan gagasan, bukan justru membangun narasi berlatar emosi.

Acara dengan tema label politik, trik dan taktik tersebut mengadirkan tokoh-tokoh penting partai pengusung dan pendukung dari kedua kubu capres dan cawapres. Ada Budiman Sujatmiko, Ferry Juliantono, dan pengamat serta peneliti politik, serta ada juga dua politisi lainnya.

Sebagaimana dikatakan oleh Budiman Sujatmiko, bahwa selama ini memang pihak dengan sengaja memproduksi diksi-diksi tertentu, mereka (tim Jokowi) mulai menerapkan strategi berbeda. Menurut Budiman Sujatmiko politik juga perlu sensasi bukan hanya esensi. Sehingga kaitannya dengan Sontoloyo dan Genderuwo itu adalah sebagai sensasi.

Bahkan lebih lanjut Budiman Sujatmiko mengatakan, mereka sudah membuat sebuah list atau daftar dari sejumlah diksi-diksi tertentu yang mungkin juga akan dikeluarkan lagi dalam pernyataan-pernyataan Jokowi kedepan. Ada kemungkinan.

***

Hiruk pikuk suasana politik nasional memang sedang menuju klimaksnya. Beragam sensasi mewarnai lini media masa, kali ini pun berita sensional kembali dihadirkan ke ruang publik. Ya, poster "Raja Jokowi" mendadak muncul dihampir setiap tempat di Propinsi Jawa Tengah.

Poster yang sudah ditempelkan pada lokasi-lokasi strategis dengan gambar Jokowi menggunakan mahkota Raja Jawa dan disebelahnya ada juga gambar sebuah partai pendukung utama Jokowi. Sekilas poster tersebut terlihat tidak ada masalah, bahkan pihak KPU Jawa Tengah sendiri menilai tidak ada aturan yang dilanggar. Adapun gambar Jokowi menggunakan mahkota itu dibolehkan.

Namun pihak PDIP justru menilai sebaliknya, selain pihaknya tidak merasa pernah menempelkan sejumlah poster tersebut. Dan menuding ada pihak tertentu yang sengaja ingin menjatuhkan Jokowi. Sehingga Sekjen partai berlambang Banteng tersebut memerintahkan seluruh kadernya untuk mencopot poster "ilegal".

Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Kristiyanto menganggap pemasangan poster bergambar Joko Widodo (Jokowi) mengenakan baju raja merupakan bentuk 'penyerangan' terhadap PDIP. Ini sebagai bentuk fitnah terhadap partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Namun siapa yang berani melakukan itu dikandang Banteng? Ini juga pertanyaan besar.

Menurut saya ada yang merasa kuatir dengan munculnya 'Raja Jokowi' terhadap keberlangsungan kesatuan bangsa yang majemuk ini sangat beralasan. Karena atribut 'Raja Jokowi' dapat dipandang sebagai hegemoni suku Jawa dalam peranan politik nasional. Dan ini bisa memicu timbulnya antipati dari suku lainnya di Indonesia.

Apalagi jika melihat faktanya memang suku Jawa sangat dominan dalam banyak aspek. Bahkan pejabat tinggi negara pun kebanyakan orang-orang Jawa atau berasal dari Pulau Jawa. Jadi sangat masuk akal jika PDIP keberatan dengan poster 'Raja Jokowi', karena hal itu dapat dipersepsikan bahwa partai Banteng sangat Jawasentris.

Jika tidak poster itu dibersihkan dari sekarang, maka ancaman isu disintegrasi bangsa menjadi lebih kuat. Nanti akan muncul 'Raja Bugis', 'Raja Ambon',  'Raja Batak' dan raja-raja lainnya. Kalau sudah pada tahap ini, persoalan kebhinnekaan memulai dilupakan. Yang ada hanyalah bagaimana mengangkat suku masing-masing.

***

Sekali lagi, sebagai orang awam, saya tidak mengerti dengan strategi-strategi politik macam-macam itu. Saya hanya mampu melihat dan menangkap apa yang nyata oleh indera saja. Dan kebanyakan rakyat pun tidak tahu persis apa yang sedang terjadi. Katanya ada politik sensasi, itupun kami tidak mengerti.

Yang kami tahu hanyalah bagaimana negara ini tidak banyak korupsinya, sedikit pengangguran, dan harga-harga yang terjangkau. Kami menginginkan pemimpin yang jujur, amanah, dan berpihak kepada rakyat kecil. Rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang tidak peduli pada kesusahan rakyat. Bahkan lebih membela negara asing dari penduduk pribumi.

Salam***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun