Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Disparitas Kemiskinan Antardaerah

8 November 2018   06:22 Diperbarui: 9 November 2018   14:47 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ekonomi.kompas.com)

Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan  terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang umumnya mempunyai potensi lebih tinggi

Mengurangi kemiskinan adalah salah satu indikator keberhasilan pembangunan di suatu negara. Dengan kemiskinan yang rendah berarti tingkat kesejahteraan masyarakat tinggi. Menurunnya kemiskinan akan meningkatkan kualitas hidup. Masyarakat dapat menikmati berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kesejahteraan.

Dengan membaiknya kualitas hidup, maka akan berpengaruh secara positif terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai modal pembangunan. Sebaliknya jika tingkat kemiskinan tinggi, maka kualitas modal manusia juga memburuk, yang pada gilirannya modal sosial masyarakat juga rendah.

Menurut Jousairi Hasbullah dalam tulisan opininya yang berjudul Kemiskinan dan Peran Daerah yang Minimalis, dipublis Harian KOMPAS (2/11/2018, hal: 6), secara nasional, angka kemiskinan telah turu. 

Pada September 2017, persentasenya masih di atas satu digit (10,12) dan jadi satu digit (9,82) pada Maret 2018. Bahkan di beberapa daerah menunjukkan penurunan angka kemiskinan yang cukup tajam, melebihi rata-rata kecepatan penurunan nasional.

Walaupun hasil hitungan BPS angka kemiskinan telah menyentuh angka satu digit, jalannya penurunan dari waktu ke waktu masih lamban. Penyebab atau permasalahan yang paling menonjol adalah disparitas antarpropinsi dan antarkabupatenkota masih melebar. Misalnya tingkat kemiskinan di Aceh masih jauh tertinggal dari Propinsi Sumatera Utara, atau kemiskinan Kabupaten Pidie jauh melebar dibandingkan Kabupaten Bener Meriah.

Yang paling mencengangkan adalah kemiskinan tertinggi masih terjadi pada daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah bahkan mendapatkan tambahan dana alokasi khusus  seperti dana otonomi dari Pemerintah Pusat.

Sedangkan daerah yang tidak begitu banyak sumber daya alamnya serta hanya mendapatkan dana yang juga standar saja namun justru tingkat kemiskinannya rendah. Jadi persoalan ketimpangan sangat jelas terlihat. Nah pertanyaanya mengapa terjadi ketimpangan dan bagaimana solusinya?

Persoalan kemiskinan memang bukan masalah yang berdiri sendiri, untuk mengentaskan kemiskinan itu sendiri juga tidak mudah. Secara teori kemiskinan absolut akan tetap ada di negara manapun.

Kemiskinan absolut itu tidak dapat dihilangkan, karena faktornya  sangat dipengaruhi oleh setiap individu. Pun demikian tingkat kemiskinan tersebut tidak boleh lebih besar dari 2 persen saja.

Penyebab terjadinya ketimpangan tingkat kemiskinan antardaerah atau antarpropinsi bisa karena beberapa kemungkinan. Namun yang perlu dipahami mengenai tingkat kemiskinan adalah jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan dibagi dengan jumlah penduduk di satu daerah. Sehingga tingkat kemiskinan di satu tempat  dengan tempat lain akan berbeda jika jumlah penduduknya banyak atau sedikit

Disparitas kemiskinan antar wilayah juga dapat terjadi disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menekankan pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan di daerah tertentu saja sehingga menimbulkan kesenjangan antar wilayah yang ekstrim.

Faktor ekonomi yang menyebabkan disparitas kemiskinan antara lain perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi, seperti lahan, tenaga kerja (SDM), infrastruktur, modal, dan keunggulan daerah itu sendiri.

BPS mencatat tingkat ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia (gini ratio) mengalami penurunan meskipun tidak besar dari 0,391 persen pada September 2017 menjadi turun pada 0,389 pada Maret 2018. Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, faktor utama yang menyebabkan turunnya gini ratio yaitu terjadinya kenaikan pengeluaran oleh masyarakat (CNN, 16/07/2018).

Namun diluar faktor ekonomi, penyebab terjadinya disparitas kemiskinan yang sangat lebar antardaerah dan antarpropinsi ditengarai tidak terlepas dari peran pemimpin daerah baik bupati maupun gubernur. Kepemimpinan memegang peranan kunci dalam upaya menyejahterakan rakyatnya dan melepaskan mereka dari belenggu kemiskinan.

Para gubernur dan bupati sebagai pemimpin daerah harus memiliki strategi khusus yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan menciptakan pemerataan pendapatan setiap penduduk secara berkeadilan. Karena yang paling mengetahui secara persis bagaimana kondisi daerah dan keadaan masyarakatnya adalah bupati atau gubenur.

Oleh sebab itu, meskipun pemerintah pusat telah membuat program dan strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia, akan tetapi itu bersifat nasional atau bersifat umum, yang belum tentu cocok dan sesuai dengan masing-masing daerah.

Karenanya gubernur dan bupati harus lebih kreatif melahirkan program-program unggulan daerah sesuai dengan kebutuhan, demografi dan sosiologis masyarakatnya. Bukan tidak boleh menjalankan program-program nasional, namun hendaknya harus dipadukan dengan strategi daerah.

Misalnya Pemerintah Aceh melahirkan program Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) pada tahun 2014 yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah Pusat sebagai cikal bakal Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Nah, bayangkan jika pemimpin daerah tidak memahami tentang persoalan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan didaerahnya, maka hampir dapat dipastikan tingkat kemiskinan justru akan meningkat. Inilah contoh kegagalan kepemimpinan daerah dalam menciptakan pemerataan.

Lebih tragis lagi, sementara pemimpin daerah tidak memiliki program kerja yang tepat untuk memajukan daerahnya, justru terlibat korupsi pula. Kegagalan berganda semacam ini telah nyata dan benar-benar terjadi. Bupati/walikota bahkan gubernur di daerah kaya sumber daya alam dan mendapatkan dana otonomi khsus diduga terlibat korupsi ratusan milyar rupiah dan kini berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Maka untuk menghidari gagal kepemimpinan dan agar tingkat ketimpangan kemiskinan di daerah dapat ditekan, bupati perlu memiliki dan mengetahui beberapa hal berikut:

Ciptakan program daerah

Pemimpin daerah bersama dewan perwakilan rakyat daerah perlu duduk bersama dan memikirkan sebuah program terobosan untuk mengecilkan tingkat ketimpangan si kaya dan miskin. Dalam ruang lingkup propinsi, seorang gubernur  berupaya menciptakan pemertaan ekonomi antar kabupaten/kota di wilayah kepemimpinannya.

Program terobosan tersebut berbasis pada inovasi dan kreativitas tinggi. Dengan pendekatan baru, gubernur/bupati  mendorong agar sumber daya manusia didaerah dapat berperan dan berkontribusi secara penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evalusi bersama-sama dengan masyarakat pada umumnya.

Penyusunan program unggulan daerah harus bebas dari praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Namun sebaliknya, mengedepankan prinsip-prinsip terbuka, transparan, akuntabel dan dapat dipertanggung-jawabkan kepada public dan Tuhan YME.

Menguasai masalah kemiskinan

Selain menciptakan program jitu yang tepat sasaran, bupati juga seyogyanya menguasai masalah yang sedang dihadapi oleh rakyat di daerahnya. Dengan memahami persoalan yang sesungguhnya, bupati dapat mencari akar persoalan yang menyebabkan terjadinya disparitas kemiskinan.

Agar gubernur/bupati dapat melihat persoalan secara jelas, maka pemimpin harus sering-sering turun ke bawah, perlu melakukan blusukan ke masyarakat dan mendengar keluhan yang mereka sampaikan. Dengan cara ini pemimpin akan mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang kondisi rakyat atau bukan laporan asal bapak senang.

Strategi pembangunan partisipatif

Tidak zamannya lagi sekarang menerapkan pola pembangunan yang bersifat dari atas ke bawah (top down), saat ini gubernur/bupati/walikota perlu mengembangkan konsep pembangunan bersifat partisipatif. Ciri dari konsep ini adalah melibatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan bukan sebagai objek pembangunan.

Dengan model ini masyarakat terlibat secara langsung dalam pembangunan, mulai dari sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai penagwasan bahkan hingga pemeliharaan (jika itu pembangunan fisik, seperti sarana dan prasarana).

Memang model ini sudah mulai dilakukan melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) yang dilakukan sejak dari level desa hingga naik ke atas ke tingkat nasional. Namun apakah benar-benar dijalankan secara serius, komitmen, dan konsisten? Rasanya tidak.

Maka cobalah sempurnakan konsep pembangunan partisipatif ini. Karena menurut hemat saya, pola ini sangat bagus bagi bangsa Indonesia.

Dari sinilah rakyat akan merasa bahwa mereka ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan, artinya akan lahir rasa memiliki yang mendalam dari masyarakat. Karenanya pembangunan akan berjalan baik dan warga masyarakat akan menjaga hasil pembanunan dengan penuh tanggung jawab pula.

Bertindak jadi motivator

Pemimpin bukan hanya sebagai manajer pembangunan yang hanya mengurusi administrasi, anggaran,dan membuat kebijakan. Namun seorang gubernur/bupati juga harus pandai memberikan semangat dan motivasi berusaha masyarakat. Bagaimanapun penyebab utama kemiskinan adalah tidak adanya pendapatan, tentu bermula dari tidak tersedianya lapangan kerja.

Namun disisi lain, didaerah yang tingkat kemiskinan tinggi namun lahannya banyak yang menganggur. Ini artinya bahwa pengangguran terjadi karena etos kerja masyarakat yang rendah.

Oleh sebab itu gubernur/bupati harus berupaya mengajak mereka untuk bekerja keras, bila perlu berikan insentif bagi mereka yang giat bekerja. Misalnya membuat kelompok-kelompok atau cluster ekonomi masyarakat lalu berikan stimulus baik dalam bentuk barang atau jasa.

Jangan terjebak pola pikir proyek

Jika menyimak informasi yang rilis oleh KPK terhadap kasus-kasus korupsi yang ditanganinya. Pada umumnya para koruptor tersebut yang merupakan pemimpin daerah (bupati/walikota/gubernur) terlibat ijon proyek atau karena fee proyek.

Jebakan berbisnis proyek sering begitu menggoda para pemimpin daerah. Dengan ratusan paket yang dapat dilelang dan menarik fee dari setiap paket proyek tersebut memang bisnis yang menggiurkan. Siapapun dapat tergoda.

Namun bagi pemimpin yang berkomitmen untuk mensejahterakan rakyatnya ia akan berpikir jangka panjang dan berkelanjutan (sustainable). Sehingga program yang dilahirkan pun sudah dikalkulasi secara cermat untuk kepentingan jauh kedepan, bukan hanya sebatas asal ada proyek lalu dapat komisi. Untuk tujuan ini tidak ada salahnya pemimpin daerah melibatkan para akademisi dan konsultan profesional.  

Kesimpulan

Peran pemimpin dalam menciptakan pemerataan ekonomi dan menekan ketimpangan kemiskinan antardaerah menjadi faktor kunci untuk mencapai keberhasilan. Karenanya seorang pemimpin dituntut untuk selalu memiliki terobosan-terobosan baru dalam strategi kepemimpinannya dalam menjalankan pembangunan.

Cara berpikir kreatif, inovatif, dan strategis seyogyanya dimiliki oleh pemimpin daearah. Dengan dasar berpikir seperti itu mereka dapat dengan mudah melahirkan program kerja yang mengakomodir kebutuhan masyarakat dan tepat sasaran.

Kemudian membangun sinergitas dengan seluruh stakeholder terutama dengan dewan perwakilan daerah, para ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, pengusaha, dan para cendikia, guru dan pemuka agama. Sehingga seluruh rencana kerja dapat diwujudkan dengan semangat kerja sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun