Indonesia mungkin sering kali mendengar istilah KDRT. Akhir-akhir ini berita KDRT marak diberitakan oleh media massa. Namun, apa KDRT itu? Seperti yang kita tahu, KDRT merupakan akronim dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga yang dapat melukai dan menyakiti.
MasyarakatDikutip dari iNews.id, Komnas Perempuan menyatakan pada maret 2021 terdapat 8.234 kasus kekerasan terhadap perempuan, 79 persen diantaranya merupakan kasus KDRT. Dapat kita katakan bahwa banyak kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan, terutama dalam ranah rumah tangga. Namun, apakah anda tidak bertanya-tanya, mengapa kasus kekerasan dalam rumah tangga lebih sering menjadikan perempuan sebagai korbannya?
Berikut ini fakor-faktor yang menjadikan perempuan sebagai korban KDRT:
- Fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki
Laki-laki dinilai memiliki fisik yang lebih kuat dibanding perempuan. Â Kondisi tersebut memungkinkan laki-laki memiliki tingkat agresif yang tinggi
- Perempuan cenderung meluapkan emosi dengan menangis
Perempuan memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi, dimana mereka sangat peka terhadap hal-hal sekitar. Namun, Ketika terdapat hal yang menyulut emosinya, mereka cenderung diam ataupun menangis dibanding meluapkan emosinya dengan kata-kata ataupun tindakan.
- Laki-laki mendominasi perempuan
Masyarakat Indonesia memiliki pandangan bahwa laki-laki lebih mendominasi perempuan. Dimana laki-laki memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih dibanding perempuan. Dengan kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya, membuat perempuan tunduk dan tidak berani untuk melawan ataupun membantah.
Berdasarkan penjabaran diatas, perempuan memang lebih memungkinkan menjadi korban KDRT. Untuk menghindari hal tersebut, komunikasi dalam hubungan sangatlah penting agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung kekerasan. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk membantah dan melawan ketika merasa ada yang salah.
Untuk perempuan yang mengalami tindakan kekerasan di dalam rumah tangga ataupun di luar rumah tangga, hendaknya melapor ke lembaga yang berwenang. Jika tidak memungkinkan untuk melapor, setidaknya menceritakan hal tersebut ke orang terdekat, seperti teman ataupun keluarga.