Di balik sorotan publik terhadap kasus-kasus korupsi yang mencuat, terdapat realitas yang kerap luput dari perhatian, apa itu? Negara tidak memiliki satu cara tunggal dalam menginvestigasi korupsi. Sebaliknya, terdapat ragam paradigma---cara berpikir, pendekatan, dan strategi---yang membentuk bagaimana sebuah kasus ditangani, siapa yang disasar lebih dulu, serta bukti seperti apa yang dianggap cukup. Perbedaan paradigma inilah yang menjelaskan mengapa dua kasus korupsi yang sama-sama besar bisa berakhir dengan proses hukum yang sangat berbeda.
Paradigma paling klasik dan masih dominan di Indonesia adalah pendekatan legal-formalistis. Segala proses investigasi sangat bergantung pada ketentuan formil hukum acara pidana dan peraturan tindak pidana korupsi. Prosesnya berjenjang dan sangat prosedural. Mulai dari penyelidikan, pengumpulan alat bukti sah, pemeriksaan saksi, hingga audit investigatif yang menjadi dasar penetapan tersangka. Pendekatan ini menekankan kehati-hatian dalam prosedur, tetapi sering kali berjalan lambat dan rentan digugurkan jika terdapat cacat formil sekecil apa pun.
Berbeda dengan itu, pendekatan berbasis intelijen atau intelligence-led investigation justru mengedepankan kecepatan dan efektivitas. Investigasi dimulai dari informasi awal, baik dari laporan masyarakat, informan, atau pengamatan intelijen. Lembafa tertentui sering menggunakan metode ini melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan berdasarkan hasil penyadapan dan surveilans. Pendekatan ini sukses membongkar kasus-kasus besar secara cepat dan dramatis, tetapi juga menuai kritik karena dinilai terlalu reaktif, bahkan dianggap teatrikal dalam beberapa kasus.
Di era digital, berkembang pula paradigma forensik-digital. Pendekatan ini menekankan pada pelacakan data elektronik, audit log sistem informasi, rekam jejak transaksi keuangan, serta pelibatan teknologi forensik dalam membongkar aliran dana haram. Lembaga lainnya dan laboratorium forensik digital memainkan peran penting dalam pendekatan ini. Meski sangat canggih dan berbasis bukti objektif, pendekatan ini memerlukan sumber daya manusia yang sangat terlatih serta koordinasi antarlembaga yang kuat.
Namun, tidak semua pendekatan investigasi bersifat netral. Dalam praktiknya, banyak pula investigasi yang dijalankan dalam kerangka paradigma politik-ekonomi. Dalam pendekatan ini, investigasi terhadap korupsi sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan kekuasaan. Artinya, siapa yang diselidiki dan seberapa jauh penyidikan dilakukan bisa sangat bergantung pada posisi politik pelaku. Penundaan atau penghentian proses hukum terhadap tokoh tertentu kerap kali merupakan hasil dari kompromi kekuasaan atau perhitungan stabilitas politik. Paradigma ini menjadi cermin realitas pahit bahwa hukum tidak selalu berjalan dalam ruang hampa.
Selain pendekatan-pendekatan di atas, terdapat pula strategi populer yang disebut sebagai pendekatan "name and shame". Pendekatan ini tidak selalu fokus pada hasil akhir di pengadilan, tetapi lebih pada penciptaan efek jera melalui tekanan opini publik. Ekspos media, konferensi pers dramatis, hingga publikasi wajah tersangka di berbagai saluran informasi menjadi bagian dari strategi ini. Ia ampuh untuk membentuk persepsi publik dan mendorong kepatuhan, tetapi juga mengandung risiko mengabaikan asas praduga tak bersalah.
Ragam paradigma ini penting untuk dipahami oleh publik, bukan hanya karena ia menentukan arah kebijakan antikorupsi, tetapi juga karena ia merefleksikan posisi dan kekuatan lembaga penegak hukum dalam lanskap politik yang lebih luas. Investigasi korupsi, pada akhirnya, bukan sekadar soal benar atau salah, tetapi juga tentang bagaimana negara memosisikan diri dalam membangun tata kelola yang bersih dan adil.
Pemahaman akan  perbedaan cara menyidik ini menjadikan kita lebih kritis membaca dinamika hukum, dan lebih bijak dalam menagih akuntabilitas dari para penegak keadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI