Glastonbury bukan sekadar festival musik. Ia adalah panggung sosial, cermin budaya, sekaligus arena pertarungan simbolik antara idealisme dan kapital. Di ladang Pilton, Somerset, setiap musim panas, ratusan ribu orang berkumpul bukan hanya untuk menyaksikan musisi kelas dunia, tetapi juga untuk "mengalami" sebuah atmosfer alternatif: tenda-tenda penuh warna, panggung-panggung eksperimental, relawan Oxfam, dan pesan-pesan anti-korporatisme yang terpampang di tengah festival yang---ironisnya---disponsori perusahaan multinasional.
Dalam pendekatan critical realism, kita tidak cukup berhenti pada level permukaan---yakni musik dan kemeriahan. Kita diajak menyelami struktur sosial dan mekanisme kausal yang menyusun realitas festival ini. Bagaimana festival yang dimulai oleh Michael Eavis pada tahun 1970 sebagai ekspresi counterculture, kini bertransformasi menjadi bagian dari ekonomi pengalaman yang dikomodifikasi? Siapa yang diuntungkan? Siapa yang tak terlihat?
Festival ini membangun brand sebagai ruang perlawanan simbolik: mendukung kampanye lingkungan, memperjuangkan hak asasi manusia, dan memberi panggung bagi suara-suara alternatif. Namun, pada saat yang sama, Glastonbury tidak lepas dari dinamika kelas. Harga tiket yang menembus 300, biaya akomodasi yang mahal, dan kehadiran area eksklusif untuk tamu VIP menunjukkan bahwa akses ke pengalaman ini tidak setara. Kelas menengah-baru menjadi aktor dominan dalam konfigurasi demografis penonton, sementara nilai-nilai progresif festival justru dikonsumsi dalam bingkai gaya hidup.
Dari sudut pandang struktur, Glastonbury berada dalam tekanan dualitas. Di satu sisi, ia mengakomodasi agensi seniman dan komunitas yang masih membawa semangat resistensi dan kolektivitas. Di sisi lain, ia beroperasi dalam logika industri budaya yang mengharuskan efisiensi, keuntungan, dan daya jual. Penampilan artis besar seperti Beyonc atau Coldplay, misalnya, bukan sekadar pemenuhan estetika musikal, tetapi juga strategi reproduksi nilai pasar dan visibilitas global.
Namun demikian, pendekatan realisme kritis juga menolak determinisme. Ia mengakui adanya ruang untuk perubahan. Glastonbury tetap menjadi tempat bagi berbagai bentuk ekspresi politik yang sulit menemukan panggung di tempat lain. Dukungan terhadap WaterAid, kampanye anti-Brexit, dan penampilan musisi dengan lirik penuh kritik sosial adalah contoh bahwa festival ini bukan sepenuhnya tunduk pada kapital. Ia adalah situs dialektika, tempat di mana struktur dan agensi saling bernegosiasi.
Membaca Glastonbury berarti membaca lebih dari sekadar musik dan festival. Ini tentang bagaimana kultur dikonstruksi, bagaimana kelas direproduksi, dan bagaimana komoditas menyusupi bahkan ruang-ruang yang pada mulanya ingin bebas dari logika pasar. Glastonbury adalah narasi berlapis: sekaligus ruang kontestasi dan kooptasi, antara utopia dan realitas, antara seni dan pasar. Dan di situlah letak kekuatannya---sebagai medan refleksi kritis tentang siapa kita, dan dalam sistem seperti apa kita berpartisipasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI