Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Dopamine Loop Menjadikan Manusia sebagai Objek

17 Juni 2025   10:45 Diperbarui: 17 Juni 2025   15:45 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era digital yang hiperterhubung ini, manusia perlahan berubah dari subjek aktif menjadi objek pasif yang dikendalikan oleh algoritma. Salah satu mekanisme kunci dari perubahan ini adalah dopamine loop—sebuah siklus neurologis yang memanfaatkan sistem penghargaan otak untuk menciptakan ketergantungan pada notifikasi, likes, dan validasi instan.

Dopamin adalah neurotransmitter, yaitu zat kimia yang berfungsi sebagai pembawa pesan antar sel saraf (neuron) di otak dan sistem saraf.

Melalui desain platform media sosial yang sengaja dibangun untuk memicu pelepasan dopamin, manusia terdorong untuk terus-menerus membuka ponsel, menggulir layar, dan mencari “pembenaran” dari dunia digital. Fenomena ini tidak sekadar persoalan kecanduan, melainkan bagian dari praktik objektifikasi manusia: kita bukan lagi pengguna media, tetapi menjadi produk yang dimonetisasi melalui atensi kita sendiri.

Film dokumenter The Social Dilemma (2020), yang disutradarai oleh Jeff Orlowski, menyajikan argumen kuat tentang bagaimana perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Google, dan Twitter tidak hanya membangun platform, tetapi juga merancang ekosistem psikologis yang mengeksploitasi kerentanan manusia. Film ini menampilkan beberapa mantan eksekutif teknologi mengungkap bagaimana algoritma dirancang untuk mempelajari perilaku kita secara real-time dan memberi stimulus kecil yang menjaga kita tetap terlibat. Ini menciptakan semacam "lingkaran dopamin" yang mirip dengan mekanisme ketergantungan narkotika ringan: ada rasa senang sesaat, lalu rasa hampa, yang kemudian mendorong kita untuk kembali mencari sumber rangsangan tersebut. Di titik ini, kita tidak lagi memegang kendali penuh atas kehendak kita sendiri.

Objektifikasi manusia dalam konteks ini bukan hanya berarti kita dilihat sebagai data oleh perusahaan teknologi, melainkan juga bahwa kita mulai melihat diri kita sendiri melalui cermin algoritmik: seberapa banyak orang menyukai unggahan kita, berapa banyak komentar yang masuk, dan bagaimana citra diri kita dibentuk oleh metrik digital. Seperti yang ditunjukkan oleh sosiolog Sherry Turkle dalam Alone Together (2011), masyarakat digital modern menciptakan ilusi koneksi, tetapi secara paradoks membuat manusia semakin terasing dari makna otentik hubungan sosial. Ketika sistem dirancang untuk mengarahkan perilaku berdasarkan prediksi algoritmik, maka manusia perlahan dilucuti dari otonomi dan kehendak bebasnya. Kita menjadi objek dalam eksperimen besar yang tak kita sadari sepenuhnya.

Mengatasi masalah ini memerlukan lebih dari sekadar detoks digital. Kita perlu kesadaran kritis—sebuah digital self-awareness—untuk memahami bahwa di balik kenyamanan interaksi daring tersembunyi struktur kekuasaan yang tak terlihat. Objektifikasi melalui dopamine loop adalah bentuk baru dari penjajahan mental, dan pertahanan terbaik kita adalah kemampuan untuk berpikir ulang tentang hubungan kita dengan teknologi. Media sosial seharusnya menjadi alat bantu, bukan arsitek utama identitas kita.

Bibliografi:
 Orlowski, J. (Director). (2020). The Social Dilemma [Film]. Exposure Labs / Netflix.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun