Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Proyek-proyek "Boondoggles" Sering Lolos?

8 April 2025   13:58 Diperbarui: 8 April 2025   13:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boondoggles (Ilustrasi)/AI Generated

Setiap tahun, parlemen menyetujui triliunan rupiah anggaran pembangunan, sebagian dengan proses debat yang keras, sebagian lagi dengan cepat dan nyaris tanpa perlawanan. Di antara lembar-lembar anggaran itu, tersembunyi berbagai proyek yang secara kasat mata tampak megah dan menjanjikan. Namun di balik kemegahan itu, banyak proyek ternyata hanya menyerap anggaran tanpa manfaat sosial atau ekonomi yang memadai. Proyek-proyek semacam ini dalam literatur kebijakan publik dikenal sebagai boondoggles.

Istilah "boondoggles" berasal dari Amerika Serikat dan digunakan untuk menggambarkan proyek pemerintah yang mahal, tidak efisien, dan sering kali tidak dibutuhkan, namun tetap dijalankan karena motif politik atau pencitraan. Bukan karena proyek tersebut tidak melalui proses politik, tetapi justru karena berhasil melewati proses politik---meski melanggar akal sehat teknokratis. Proyek seperti pembangunan kereta cepat California yang menghabiskan lebih dari 100 miliar dolar AS namun tak kunjung beroperasi, atau Olimpiade Sochi 2014 yang memakan biaya fantastis dengan infrastruktur mangkrak pasca-acara, adalah contoh klasik dari boondoggles.

Lalu mengapa proyek-proyek seperti ini bisa lolos dalam sistem demokrasi, yang katanya berbasis akuntabilitas publik?

Kuncinya terletak pada politik anggaran. Dalam banyak kasus, anggota parlemen menyetujui proyek bukan karena efisiensinya, tetapi karena proyek itu membawa nilai politik. Seorang legislator mungkin tahu proyek itu mubazir, tetapi jika proyek itu memberi "oleh-oleh" ke daerah pemilihannya---entah dalam bentuk simbol pembangunan atau proyek infrastruktur lokal---ia tetap akan menyetujui. Inilah praktik yang dalam literatur dikenal sebagai pork-barrel politics. Proyek tidak dinilai dari manfaat publik jangka panjang, tapi dari keuntungan elektoral jangka pendek.

Ada juga faktor asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Pemerintah cenderung menyajikan proposal anggaran dalam bentuk ringkasan yang sudah dibalut narasi keberhasilan dan pertumbuhan. Risiko-risiko tersembunyi, termasuk potensi pemborosan atau ketidaksesuaian dengan kebutuhan masyarakat, jarang diungkap sejak awal. Kajian Bent Flyvbjerg dalam Oxford Review of Economic Policy menunjukkan bahwa banyak proyek infrastruktur besar gagal karena kombinasi antara optimism bias (harapan berlebihan) dan strategic misrepresentation (penyembunyian informasi secara sengaja). Ini adalah bentuk manipulasi teknokratik yang sayangnya tidak mendapat perlawanan berarti dari parlemen.

Parahnya, banyak negara, termasuk Indonesia, belum memiliki sistem pengawasan anggaran yang kuat pada tahap ex-ante, yakni sebelum proyek dimulai. Proyek bisa lolos hanya karena ada legitimasi formal dari DPR, meski tanpa uji kelayakan yang objektif dan independen. Lembaga audit sering kali hanya hadir pada tahap ex-post, ketika uang sudah keluar dan dampak buruk sudah terjadi. Pada titik itu, kritik terhadap proyek boondoggles menjadi sia-sia, karena keputusan anggaran telah menjadi keputusan politik yang sulit diubah.

Yang lebih menyedihkan adalah bahwa proyek boondoggles sering dibungkus dalam narasi populis. Pemerintah dan parlemen sama-sama memainkan kartu "kesejahteraan rakyat" dan "pembangunan nasional", meskipun kenyataannya rakyat tak mendapat manfaat nyata. Infrastruktur dibangun tanpa konektivitas, stadion megah berdiri tanpa liga lokal yang berfungsi, kawasan ekonomi khusus diluncurkan tanpa investor. Dalam situasi seperti ini, yang sesungguhnya dibangun bukanlah kesejahteraan rakyat, melainkan citra politik. Proyek dijadikan simbol kepemimpinan, bukan instrumen kesejahteraan.

Ketika uang rakyat dikorbankan demi pencitraan, yang kita saksikan bukan sekadar kegagalan perencanaan, tetapi kegagalan demokrasi itu sendiri. Parlemen yang seharusnya menjadi penjaga rasionalitas fiskal justru terlibat dalam praktik kompromi politik yang memperkuat budaya boondoggles. Padahal dalam demokrasi yang sehat, setiap rupiah anggaran harus diuji bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara etis dan sosiologis: apakah ia benar-benar menjawab kebutuhan rakyat atau sekadar menghidupi ego elite?

Selama proyek-proyek seperti ini masih lolos tanpa evaluasi publik yang memadai, maka jargon "pembangunan" akan tetap menjadi kedok, bukan janji yang ditepati. Dan rakyat, seperti biasa, diminta bertepuk tangan sambil membayar tagihannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun