Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sama-sama ada Belanda nya, Dutch Disease tidak ada hubungan dengan Naturalisasi

30 Maret 2025   12:32 Diperbarui: 30 Maret 2025   12:32 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain sepak bola (Ilustrasi), AI Generated

Istilah Dutch Disease mungkin terdengar asing bagi sebagian masyarakat Indonesia, apalagi jika disandingkan dengan isu yang jauh lebih populer seperti naturalisasi pemain sepak bola asal Belanda. Namun, kedua istilah ini sama sekali tidak memiliki hubungan substansial, selain kesamaan kata "Belanda" yang menjadi sumber kebingungan. Dutch Disease adalah sebuah konsep dalam ekonomi pembangunan yang menjelaskan bagaimana keberlimpahan sumber daya alam justru dapat menjadi bumerang bagi perekonomian suatu negara. Dalam arti harfiah, ini adalah penyakit ekonomi, bukan perdebatan soal kewarganegaraan atau strategi memperkuat tim nasional.

Asal mula istilah ini merujuk pada pengalaman Belanda setelah penemuan cadangan gas alam raksasa di Groningen pada tahun 1959. Dalam laporan majalah The Economist tahun 1977, disebutkan bahwa alih-alih menciptakan kemakmuran jangka panjang, ekspor gas Belanda justru menyebabkan menguatnya mata uang gulden secara signifikan. Dampak dari apresiasi mata uang ini adalah melemahnya daya saing sektor industri manufaktur Belanda di pasar internasional. Dengan kata lain, booming di sektor sumber daya alam menyebabkan kemunduran di sektor-sektor produktif lainnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai Dutch Disease (Corden & Neary, 1982).

Sejak itu, istilah ini digunakan secara luas dalam studi ekonomi pembangunan untuk menjelaskan gejala serupa di berbagai negara berkembang. 

Banyak negara yang mengalami lonjakan ekspor komoditas alam, seperti minyak, gas, atau mineral, justru jatuh ke dalam perangkap stagnasi ekonomi karena gagal membangun sektor manufaktur dan teknologi.

Dalam jangka pendek, pendapatan negara memang meningkat, tetapi dalam jangka panjang, ketergantungan terhadap komoditas mentah menyebabkan struktur ekonomi menjadi rapuh, rentan terhadap fluktuasi harga global, dan kehilangan kemampuan menciptakan lapangan kerja produktif (Ismail, 2010).

Indonesia pun tak luput dari fenomena ini. Sejak awal 2000-an, ketika harga batu bara, kelapa sawit, dan mineral melambung tinggi, ekonomi Indonesia menikmati pertumbuhan yang impresif. Namun, di balik itu, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB justru stagnan bahkan menurun. Banyak tenaga kerja yang seharusnya terserap ke sektor industri justru masuk ke sektor jasa informal. Ledakan ekspor komoditas mengalihkan investasi dan perhatian pemerintah dari industrialisasi jangka panjang menuju eksploitasi sumber daya jangka pendek. Para ekonom menyebut kondisi ini sebagai growth without transformation, yakni pertumbuhan ekonomi tanpa perubahan struktural yang mendalam (Rodrik, 2016; UNCTAD, 2016).

Fenomena Dutch Disease tidak hanya dialami Indonesia. Nigeria, misalnya, mengalami penurunan sektor pertanian dan manufaktur setelah menjadi eksportir minyak utama. Ketika harga minyak anjlok, negara itu terpukul hebat karena tidak memiliki sektor alternatif yang cukup kuat. Hal yang sama juga terjadi di Venezuela dan Rusia, di mana kekayaan sumber daya alam justru memperlemah insentif untuk membangun industri domestik, mengakibatkan ekonomi yang bergantung pada satu komoditas dan mudah terpuruk (Sala-i-Martin & Subramanian, 2003).

Melalui uraian ini, semakin jelas bahwa Dutch Disease tidak ada hubungannya dengan isu naturalisasi pemain sepak bola keturunan Belanda. Naturalisasi adalah kebijakan personal dan simbolik, sedangkan Dutch Disease adalah permasalahan struktural yang berdampak luas terhadap pembangunan ekonomi jangka panjang. Meskipun sama-sama berlabel "Belanda", keduanya tidak berada di medan yang sama. Justru, juxtaposition ini mengungkap kecenderungan kita sebagai bangsa untuk mencari solusi instan, baik dalam olahraga maupun dalam ekonomi, sambil mengabaikan kebutuhan akan reformasi struktural yang menyeluruh.

Agar terhindar dari penyakit Belanda yang sesungguhnya, Indonesia harus menata kembali orientasi pembangunannya. Ledakan komoditas semestinya dimanfaatkan sebagai jembatan untuk membangun industri hilir, memperkuat teknologi domestik, dan menciptakan fondasi fiskal yang berkelanjutan. Tanpa itu, setiap booming hanya akan memperpanjang ketergantungan dan menunda transformasi yang tak terelakkan.

Referensi

Corden, W. M., & Neary, J. P. (1982). Booming Sector and De-industrialisation in a Small Open Economy. The Economic Journal, 92(368), 825--848.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun