Ketika rencana penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan pimpinan Doktor Fadli Zon mengemuka, dengan penekanan atau penggarisbawahan pada penulisan yang bersifat 'positif', entah mengapa ingatan saya tiba-tiba melayang ke saat saya masih menempuh pendidikan S1 dahulu.
Dalam sebuah pertemuan perkuliahan, dosen saya sempat melontarkan pertanyaan pada para mahasiswa "Kalian tahu, mengapa dahulu ada orde lama dan orde baru?"
Para mahasiswa termasuk saya pun terdiam. Tapi memang nampaknya sang dosen tidak sedang ingin pertanyaannya dijawab oleh mahasiswa yang hadir saat itu.
"Jadi, istilah orde lama dan orde baru itu sebenarnya hanyalah 'permainan kata-kata' dari rezim Soeharto. Supaya mengesankan bahwa yang lama itu disempurnakan oleh yang baru," demikian penjelasan pak dosen kala itu.
Meski hingga hari ini tak menemukan bukti ilmiah atas pernyataan sang dosen soal pemberian stigma lama dan baru dalam fase pemerintahan Indonesia itu, namun saya tetap bisa menerima pernyataan itu sebagai sebuah common sense. Setidaknya sampai dengan saat ini.
Mungkin karena saya juga termasuk generasi terakhir yang menyaksikan, bahwa bagaimana sebelum akhrinya tumbang pada tahun 1998, Soeharto dan jajarannya selalu menggaungkan bahwa pemerintahan masa orde baru mampu membangun Indonesia sedemikian rupa, sehingga menjadi penyempurna yang paripurna atas semua perjuangan bangsa sejak dahulu kala.
Kini, nada yang mirip dengan narasi tersebut, tengah dimainkan oleh Kementerian Kebudayaan. Dalam bingkai sejarah resmi yang akan ditulis ulang dengan anggaran total sebesar Rp9 miliar.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon seperti dikutip Kompas.com pada 1 Juni 2025 menyebut, "Kita ingin sejarah ini Indonesia sentris. Mengurangi atau menghapus bias-bias kolonial. Kemudian, terutama untuk mempersatukan bangsa dan kepentingan nasional,"
Fadli mengatakan, penulisan ulang sejarah dimaksudkan agar peristiwa di masa lalu bisa relevan untuk generasi saat ini, terutama terkait prestasi dan capaian di masa lalu untuk memberikan semangat generasi penerus dengan belajar dari kesuksesan pendahulu.
Namun belum juga penulisan ulang sejarah itu dimulai, masalah telah muncul.
Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kementerian Kebudayaan Agus Mulyana menyebutkan pihak yang menolak dan mengkritik proyek penulisan sejarah itu sebagai kelompok radikal dan sesat sejarah, dan bid'ah sejarah.