Saya sering heran, kenapa kita begitu mudah percaya bahwa Gelar otomatis membawa Gaji, dan gaji otomatis berarti sukses. Padahal, di luar sana, ada satu jalan yang sering dianggap sederhana---bahkan diremehkan---namun diam-diam menyimpan pelajaran bertahan hidup: berdagang.
Saya tidak sedang mengajak semua orang menjadi pedagang. Tapi mari jujur, kapan terakhir kali kita memandang berdagang sebagai pilihan yang setara dengan "berkantor" atau "berdinas"? Tren zaman membuat kita lupa, akar dari hampir semua bisnis modern adalah perdagangan. Dari sana, kita belajar membaca pasar, membangun kepercayaan, dan memahami pergerakan uang. Dan semua itu, percayalah, tidak akan kita peroleh hanya dari selembar ijazah.
Kita sering cemas setelah menuntaskan pendidikan. Gelar sudah di tangan, ijazah rapi tersimpan, dan muncul dorongan untuk segera mencari sesuatu yang "menghasilkan". Pilihannya bertebaran: guru, pegawai negeri, dokter, pebisnis, pejabat publik. Wajar saja, sebab pendidikan memang membentuk harapan akan masa depan yang stabil.
Masalahnya, jarang kita mau jujur pada diri sendiri bahwa pendidikan bukan jaminan pemasukan. Human capital theory menyebut pendidikan hanyalah investasi: memberi alat, memperluas sudut pandang, menambah kepekaan, dan merapikan cara berpikir. Sisanya? Ya tergantung bagaimana kita memakainya.
Nah, di titik ini saya bertanya-tanya: apakah berdagang masih kita anggap layak? Atau sudah terlalu asing karena tak seprestisius "berdinas" atau "berkantor"? Stigma sosialnya nyata. Bisnis terdengar keren---punya kantor, karyawan, mitra. Sementara berdagang sering dibayangkan sebatas duduk di kios, menunggu pembeli yang belum tentu datang, dan pulang dengan sisa barang.
Padahal dari kacamata ekonomi, berdagang tetaplah roda penggerak yang sahih. Entrepreneurial mindset mengajarkan, kemampuan membaca peluang, mengelola risiko, dan membangun jaringan pasar bisa lahir dari lapak sederhana. Tapi, zaman sekarang, apalagi bagi sarjana, ada ilusi bahwa penghasilan besar bisa datang tanpa keluar keringat.
Generasi Z dan Alpha tumbuh dalam kenyamanan itu. Mereka akrab dengan layar dan logistik instan, tapi lupa bahwa perdagangan adalah akar hampir semua bisnis modern. Menolak berdagang hanya karena tampak sederhana berarti kita kehilangan insting dasar bertahan hidup. Modal sosial---kepercayaan, jejaring, reputasi---yang lahir dari interaksi langsung tak bisa sepenuhnya digantikan algoritma.
Mungkin sudah saatnya berdagang kita lihat dengan kacamata baru. Bukan sekadar jual-beli, melainkan latihan memahami pasar, membaca perilaku konsumen, dan membangun jejaring sosial-ekonomi. Semua itu bekal yang tak kalah penting dari CV berlapis sertifikat.
Jadi, apakah berdagang layak dipertimbangkan? Jawabannya ada pada keberanian kita menepi dari jalur aman, lalu duduk di bangku warung atau lapak sederhana. Dari sana, kita bisa belajar lagi: bagaimana uang bergerak, bagaimana orang berinteraksi, dan bagaimana hidup, pada dasarnya, hanyalah soal tukar-menukar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI