Qonita Kurnia Anjani, Warga LDII Asal Palu, Jadi Peneliti Microneedles di Irlandia Utara: Inovasi Pengobatan yang Ramah Anak dan Masa Depan Dunia Medis
Jakarta - Membawa prinsip hidup "harus bermanfaat bagi banyak orang," Qonita Kurnia Anjani, warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) asal Palu, Sulawesi Tengah, kini mengukir prestasi internasional sebagai Research Fellow di Pharmaceutical Technology, Queen's University Belfast, Irlandia Utara. Pencapaian itu diraih berkat ketekunannya meneliti teknologi microneedles sejak kuliah Strata-1 (S1) di Universitas Hasanuddin.
Ketertarikan Qonita terhadap teknologi penghantaran obat melalui kulit bukan muncul secara tiba-tiba. Sejak 2015, ia merasa resah karena belum banyak laboratorium di Indonesia yang mengembangkan teknologi tersebut. Dorongan personal juga datang dari sang ibu yang kesulitan menelan obat tablet.
"Tablet harus digerus dulu, padahal tidak semua obat bisa seperti itu karena bisa mengurangi efektivitas," tutur Qonita dalam wawancara daring, Minggu (23/2).
Dari situlah Qonita mantap menekuni penelitian microneedles, teknologi penghantaran obat tanpa rasa sakit yang cara kerjanya menyerupai koyo. Permukaan microneedles tidak menembus saraf sehingga tidak menimbulkan rasa sakit atau perdarahan. Beragam jenis microneedles---dari dissolving, hydrogel, hingga hollow---memiliki prinsip kerja berbeda namun dengan tujuan yang sama: menyederhanakan proses pemberian obat.
Kini, sebagai peneliti sekaligus dosen di salah satu universitas swasta di Makassar, Qonita menjelaskan microneedles bekerja dengan menyentuh cairan interstisial di bawah kulit tanpa melukai pembuluh darah atau saraf. Teknologi ini sangat potensial dikembangkan secara komersial.
"Saya percaya microneedles bisa jadi solusi pengobatan masa depan, terutama untuk anak-anak yang takut jarum suntik. Bayangkan jika vaksin bisa diberikan hanya dengan menempelkan patch ke kulit di rumah," ujarnya penuh semangat.
Qonita menambahkan, jalan yang ia tempuh untuk memperoleh gelar PhD tidaklah mudah. Pandemi Covid-19 sempat menghentikan aktivitas laboratorium selama enam bulan. Namun semangat tak pernah padam. Ia berhasil melewati ujian diferensiasi---syarat wajib mahasiswa PhD---hingga akhirnya diterima sebagai peneliti penuh.
"Email saya ke profesor disambut baik, itu yang mendorong saya berani merantau ke Irlandia," tambahnya.
Qonita berharap teknologi microneedles bisa menjadi pilihan utama dalam sistem kesehatan global, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Selain efisien, teknologi ini mengurangi beban fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.
"Tujuan saya sederhana: bagaimana menjadikan pengobatan lebih praktis, lebih ramah untuk semua usia, dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir manfaatnya," pungkas Qonita.
Kini, meski telah meraih impian di negeri jauh, rasa rindu pada tanah air tetap hadir. Komunitas Indonesia Muslim Association of Da'wah di Belfast menjadi tempat Qonita melepas homesick, sekaligus penguat spiritual selama menempuh studi.
Pesan Qonita kepada generasi muda Indonesia jelas: "Pilihlah jalan sesuai bakat dan minat, namun jangan lupakan manfaatnya untuk umat. Niatkan semua karena Allah SWT agar dunia dan akhirat seimbang.".(Eva/Cak Bejo)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI