Serat Pararaton, sebuah historiografi tradisi yang menjadi rujukan utama para sejarawan dalam mempelajari sejarah Singhasari dan Majapahit. Posisi serat ini pun mampu menandingi kitab Negarakertagama dan prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh peradaban Singhasari dan Majapahit. Padahal kitab Negarakertagama dan prasasti-prasasti ini lebih jelas asal-usulnya daripada Serat Pararaton itu sendiri. Seperti yang telah lama diketahui, historiografi tradisi adalah historiografi dimana bercampurnya antara fakta sejarah dengan mitos-mitos yang ada. Dengan bercampurnya antara fakta dan mitos ini tidak serta merta membuat historiografi tradisi diragukan kebenarannya. Sejarawan sendiri lebih banyak mengambil dari Serat Pararaton ketika membicarakan tentang sejarah Singhasari dan Majapahit. Dan apa yang mereka dapat dari serat itu mereka bandingkan dengan Negarakertagama dan prasasti-prasasti yang telah ditemukan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Serat Pararaton adalah inti cerita dari sejarawan-sejarawan yang mengkisahkan sejarah Singhasari dan Majapahit, sementara Negarakertagama dan prasasti-prasasti lain hanya sebagai pembanding, penggembira, dan pelengkap dari kisah-kisah di dalam Serat Pararaton.
Hal yang menarik dalam serat ini adalah tidak jelasnya siapakah pengarang dari Serat Pararaton itu sendiri. Yang dapat dijadikan jejak penelusuran asal mula serat ini adalah nama desa dan waktu penyelesaian Serat Pararaton. Tetapi ini menjadi kontroversi ketika mendapati kenyataan bahwa Serat Pararaton sendiri ditulis pada tahun 1613 M, tepatnya pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma berkuasa. Sangat berbeda dengan kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada masa kerajaan Majapahit. Apalagi bila dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang sudah pasti terbukti keabsahannya sebagai sebuah sumber sejarah. Padahal Serat Pararaton ini adalah rujukan utama para sejarawan dalam menganalisa sejarah Singhasari dan Majapahit, tetapi hingga saat ini belum diketahui siapakah penanggungjawab kebenaran-kebenaran peristiwa pada Serat Pararaton tersebut.
Serat Pararaton lebih ke arah sebuah novel yang sarat dengan kisah kepahlawanan, intrik politik, asmara, dendam, dan hasrat akan harta dan kekuasaan. Dan bila ditelisik lebih jauh, serat ini memberitahukan bahwa budaya politik nusantara adalah budaya saling mengkudeta satu sama lain. Bahkan dalam Serat Pararaton digambarkan dengan gamblang tentang perebutan kekuasaan, saling iri-dengki antar saudara, obsesi yang begitu tinggi, sifat megalomania, dendam pribadi, dan lain-lain. Hanya saja apabila dibandingkan dengan Negarakertagama, Serat Pararaton nampak lebih objektif karena tidak hanya membicarakan yang manis-manis saja mengenai sejarah Singhasari dan Majapahit
Serat Pararaton ini berkisah tentang awal mula Ken Angrok lahir hingga menjelang jatuhnya Majapahit pada masa Bhre Pandanalas (Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta). Di dalam nya penuh dengan mitos, fantasi, dan khayalan yang digunakan untuk melegitimasi tokoh-tokoh yang diceritakan di dalamnya. Fakta dan fantasi yang terbaur menjadi satu membuat para ahli sejarah meragukan bahwa Serat Pararaton ditulis untuk merekam kejadian-kejadian pada masa lampau. Hal ini diungkap oleh C.C. Berg yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa depan.
Analisa Serat Pararaton
Dalam kisah pembuka diceritakan bahwa Ken Angrok kecil yang rela menjadikan dirinya sebagai kurban persembahan kepada sebuah gapura besar sebagai pengganti seekor kambing berbulu merah yang tidak berhasil didapatkan oleh Empu Tapawengkeng. Tetapi ia meminta supaya kelak ia dapat pulang kembali kepada dewa Wisnu dan dapat ber-reinkarnasi kembali. Kisah pun berganti dengan Dewa Brahma yang sedang berputar-putar mencari seorang wanita yang layak ditanami benih calon raja di bumi, dan sang dewa pun bertemu dengan seorang wanita yang baru saja menikah Ken Endok. Sang Dewa lalu menggauli Ken Endok dan menyuruh kepada Ken Endok supaya tidak bercerita kepada siapapun perihal peristiwa ini dan melarang ia untuk bersenggama dengan suaminya. Dewa Brahma pun mengancam Ken Endok apabila ia tidak mampu menjaga rahasia ini maka suaminya akan mati. Ken Endok pun menceritakan peristiwa itu dan menceraikan suaminya, dan tak lama kemudian suaminya itu meninggal dan lahirlah seorang Ken Angrok dari rahim Ken Endok. Lalu oleh Ken Endok bayi itu dibuang ke kuburan dan akhirnya ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri yang bernama Lembong.
Dalam kisah pendahuluan dari Serat Pararaton nuansa legitimasi akan Ken Angrok sudah sangat kental. Dia yang disebut sebagai anak dewa dan memiliki kekuatan gaib yang sangat kuat sudah dipaparkan dalam halaman-halaman awal Serat Pararaton. Dalam mitos jawa, keturunan raja kelak pastilah juga menjadi raja. Dan Ken Angrok telah dilegitimasi sebagai keturunan Dewa Brahma, yang berarti juga Hymelegitimasi para keturunan-keturunan Ken Angrok di masa sesudahnya memiliki darah sang dewa. Sehingga bisa dipastikan yang menjadi asal-usul legitimasi dalam Serat Pararaton ini bukan garis keturunan Dewa Brahma, melainkan garis keturunan Ken Angrok.
Kisah Pararaton lalu berlanjut pada pertemuan Ken Angrok dengan Dang Hyang Lohgawe, seorang brahmana yang berasal dari Jambudwipa dan bertugas memastikan perintah Bhatara Wisnu dapat terlaksana. Dang Hyang Lohgawe mendapatkan tugas dari Bhatara Wisnu untuk membimbing Ken Angrok hingga menjadi raja di Jawadwipa kelak. Dang Hyang Lohgawe dan Ken Angrok pun akhirnya bekerja pada akuwu Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Hingga akhirnya Ken Angrok bertemu dengan Ken Dedes, istri dari sang akuwu Tumapel dan melihat "barang rahasia" Ken Dedes yang menampakkan sinar.
Dari sepenggal kisah lanjutan dari Serat Pararaton ini dapat diketahui bahwa tujuan pengarang adalah untuk melegitimasi raja-raja Majapahit yang konon merupakan keturunan dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Hal ini terbukti dari penjelasan "barang rahasia Ken Dedes yang bersinar" adalah pengakuan akan diri seorang ardhanareswari pada diri Ken Dedes. Ardhanareswari adalah seorang wanita yang memiliki tuah akan menurunkan raja-raja dan membawa keberuntungan. Terbukti dari pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes yang menurunkan Anusapati dan Ranggawuni. Begitu juga dengan keturunan Ken Arok dan Ken Dedes yang mampu menurunkan Kertanegara, Raden Wijaya, Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Hayamwuruk, hingga Girindrawardhana sebagai raja terakhir Majapahit. Apabila Raden Patah juga merupakan anak dari Brawijaya yang juga merupakan keturunan Raden Wijaya, maka dapat dipastikan seluruh raja Demak, Pajang, hingga Mataram merupakan keturunan dari anak Dewa Brahma dan sang ardhanareswari.
Kisah ini pun berlanjut pada obsesi Ken Angrok untuk memiliki Ken Dedes. Dan intrik tentang kekuasaan pun dimulai dari sini, ketika niatan Ken Angrok bukan hanya menjadi suami bagi Ken Dedes, melainkan juga menjadi raja di Jawadwipa. Dengan meminta bantuan Empu Gandring untuk membuatkan sebuah keris sakti, Ken Angrok pun menggunakan machiavelisme dalam memperoleh apa yang ia inginkan. Karena tidak sabaran, maka sang pembuat keris pun ia bunuh karena tidak menyelesaikan keris dalam waktu yang ia inginkan. Kutukan pun terlontar dari mulut Empu Gandring yang menyatakan tujuh orang raja akan meninggal dengan keris yang sama.