Mohon tunggu...
Cahya Desfiaani
Cahya Desfiaani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Vis-le, le bonheur suivra ton chemin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mirror Selfie Society: Ketika Gen Z Hidup dari Cermin Digital

16 Oktober 2025   18:36 Diperbarui: 16 Oktober 2025   21:41 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena selfie bukan lagi sekadar tren sesaat. Di era digital, terutama di kalangan Gen Z, aktivitas mengunggah potret diri di media sosial menjadi bagian dari keseharian yang hampir tidak terpisahkan. Di balik setiap unggahan foto di Instagram, TikTok, atau Threads, terselip pesan sosial: bagaimana seseorang ingin dilihat, diakui, dan diterima oleh lingkungannya. Inilah yang kemudian membentuk apa yang bisa disebut sebagai mirror selfie society, masyarakat yang hidup dari pantulan digital dirinya sendiri.

Kehadiran teknologi komunikasi membuat batas antara ruang pribadi dan publik semakin kabur. Gen Z tumbuh dalam budaya visual yang serba cepat, di mana identitas sering kali dibangun bukan dari pengalaman langsung, melainkan dari representasi diri yang dikurasi secara digital. Dalam konteks ini, media sosial berfungsi layaknya cermin yang memantulkan citra diri ideal yang ingin ditampilkan ke publik.

Jika kita melihat fenomena ini melalui lensa Teori Interaksionisme Simbolik, pandangan George Herbert Mead menjadi relevan. Mead berpendapat bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi sosial, terutama lewat simbol-simbol yang dimaknai bersama. Dalam dunia digital, simbol itu bisa berupa likes, komentar, emoji, hingga filter kamera. Setiap tindakan mengunggah foto, menulis caption, atau merespons unggahan orang lain adalah bentuk komunikasi simbolik yang membentuk pemahaman diri.

Erving Goffman, salah satu tokoh penting dalam pengembangan teori ini, menggambarkan kehidupan sosial sebagai panggung drama di mana individu memainkan peran di depan "penonton" sosialnya. Dalam konteks mirror selfie society, media sosial menjadi panggung utama. Gen Z berperan sebagai aktor yang menata pencahayaan, memilih kostum digital, dan mengatur ekspresi terbaik sebelum tampil di hadapan audiens virtual. Mereka sadar bahwa setiap foto adalah performa sosial yang mencerminkan "diri ideal" bukan selalu "diri nyata".

Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana konsep "self" menjadi cair dan adaptif. Di dunia nyata, seseorang bisa bersikap santai, pendiam, atau bahkan pemalu. Namun di dunia maya, mereka bisa tampil percaya diri, ekspresif, dan penuh gaya. Inilah bentuk impression management yang disebut Goffman: upaya mengontrol kesan yang diterima orang lain. Dengan kata lain, identitas digital tidak hanya mencerminkan siapa kita, tetapi juga siapa yang ingin kita jadi.

Namun, di balik sisi ekspresif dan kreatif dari budaya selfie, ada pula dimensi sosial yang patut dikritisi. Ketika pengakuan digital menjadi sumber validasi utama, maka "nilai diri" seseorang bisa tergantung pada seberapa banyak likes yang didapat. Akibatnya, interaksi sosial menjadi dangkal dan performatif. Hubungan antarmanusia perlahan bergeser menjadi hubungan antara citra dengan citra antara layar dengan layar.

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tampak jelas di kalangan remaja. Banyak dari mereka yang menghabiskan waktu untuk menciptakan feeds Instagram yang "estetik" atau membuat video selfie dengan narasi positif agar mendapat perhatian publik. Media sosial seolah menjadi arena kompetisi simbolik untuk menunjukkan siapa yang paling menarik, paling produktif, atau paling bahagia. Padahal, realitas sosial yang sebenarnya mungkin sangat berbeda dari yang tampak di layar.

Dari sudut pandang interaksionisme simbolik, mirror selfie society menunjukkan bahwa makna "eksistensi" kini bergeser. Dulu, keberadaan seseorang ditandai dari partisipasi langsung dalam komunitas nyata. Kini, eksistensi diukur dari seberapa aktif ia tampil di dunia maya. Identitas sosial menjadi produk dari interaksi simbolik digital bukan lagi interaksi tatap muka. Citra diri terbentuk dari kumpulan pantulan yang berasal dari tanggapan orang lain di media sosial.

Kondisi ini menimbulkan refleksi penting: apakah kita masih mengenal diri kita yang sesungguhnya, atau justru terjebak dalam bayangan digital yang kita ciptakan sendiri? Jika kehidupan sosial semakin bergantung pada layar, maka pemahaman kita tentang identitas dan hubungan sosial pun perlu ditinjau ulang. Media sosial memang memberi ruang untuk berekspresi, tetapi juga berpotensi menciptakan tekanan sosial yang tidak disadari.

Lebih jauh, fenomena mirror selfie society juga memperlihatkan bagaimana budaya konsumsi ikut membentuk cara Gen Z berinteraksi. Banyak dari mereka yang membeli produk atau mengikuti tren hanya demi tampilan di media sosial. Identitas akhirnya dibangun lewat konsumsi simbolik apa yang mereka pakai, di mana mereka makan, atau siapa yang mereka ikuti. Semua itu menjadi simbol status dan alat komunikasi sosial di ruang digital.

Di sisi lain, ada pula dimensi positif yang tidak bisa diabaikan. Bagi sebagian Gen Z, mirror selfie bukan sekadar pencitraan, tetapi bentuk ekspresi diri dan kebebasan personal. Melalui media sosial, mereka dapat menampilkan sisi kreatif, menyuarakan opini, bahkan membangun kepercayaan diri. Dalam konteks ini, mirror selfie society tidak hanya memperlihatkan narsisisme digital, tetapi juga transformasi sosial di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk menjadi "aktor" dalam narasi kehidupannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun