Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pesan yang Tidak Bisa Dibaca oleh Lelaki

25 Maret 2019   19:35 Diperbarui: 25 Maret 2019   20:24 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah dua bulan lebih, seorang pria bernama Edward berada di kota ini. Kota yang menjadi tujuan banyak wisatawan untuk berlibur dan melepas kepenatan sehari-harinya di ruang kerja. Ia, tak jauh berbeda dengan kebanyakan orang, merasakan penat yang teramat mendalam terhadap rutinitasnya di kantor, juga di rumahnya.

Itulah alasan yang membuatnya berada di sini, meski dengan tempo yang kurang wajar---dua bulan. Cukup panjang untuk ukuran jatah berlibur para pekerja di negara ini. Negara yang hampir menganut sistem kapitalis---di mana setiap pekerja akan dieksploitasi habis-habisan.

Belum jelas bagaimana perhitungannya sehingga bisa memutuskan untuk pergi lintas pulau dan meninggalkan pekerjaannya. Mungkin saja ia akan di-PHK. Tidak bekerja beberapa hari pun, apalagi tanpa permisi, akan membuat atasan mulai terbakar jenggotnya.

Edward seolah tidak peduli. Ia bukan tidak mengetahui kemungkinan bahwa ia akan dipecat, tetapi ia, mungkin saja, memilih untuk tidak peduli dan berusaha menikmati keberadaannya di kota ini.

Ia sering berjalan kaki di bawah terik matahari untuk mengamati banyak hal. Ia mengamati bagaimana orang-orang menikmati waktu senggangnya untuk sejenak melarikan diri dari rantai pekerjaan yang tiada habisnya itu. Tawa orang-orang di sana tidak dimaknai sebagai kebahagiaan oleh Edward, melainkan hanya pelipur lara dan topeng. Kota ini hampir seperti teater, orang-orang memiliki script masing-masing untuk mengisi adegan-adegan, yang mungkin saja, penuh sandiwara.

Edward tidak menyalahkan hal tersebut, justru ia menikmatinya, memaknai bahwa di dunia ini terlampau banyak yang serupa dengan dirinya---seorang pemain sandiwara. Ia sendiri merasa bahwa kehidupan nyata merupakan sesuatu yang sangat menjerat dan membosankan.

Perasaan dikekang itu yang dikutuk oleh Edward. Ia tidak sudi harus terus terjebak di sana. Ia ingin seperti burung-burung di langit yang bisa terbang bebas. Ia ingin seperti ikan-ikan di laut yang bisa berenang sesuka hati. Ia merasa memiliki cukup alasan untuk berkata "sudah" menjadi manusia.

Uang di kantongnya masih cukup banyak untuk membiayai perjalannya ke tempat yang ia inginkan. Selama ia berada di kota ini, ia hanya menghabiskan waktu di dalam losmen. Merenungi banyak hal, menikmati kesendirian, juga mungkin, mengutuk banyak keharusan.

"Harus? Kenapa harus ada kata harus di dunia ini? Kenapa manusia harus terikat pada keharusan?"

Ia berkunjung ke pantai. Cuaca sangat cerah siang itu. Ia melihat pohon bakau berderet di sepanjang pantai untuk mengurangi erosi. Ia melihat kepiting-kepiting kecil berjalan menyamping melintasi pasir yang tidak terlalu bersih. Banyak sampah seperti kaleng minuman, makanan kemasan, juga karet-karet yang terhampar. Aroma anyir dihelanya dalam-dalam.

Ia begitu menikmati suasana di pantai ini. Angin yang lengket membuatnya berkeringat. Kaosnya yang tipis menjadi agak basah di bagian punggung dan ketiak. Sebatang rokok dihisapnya dalam-dalam dan kemudian diembuskan. Berbarengan dengan deru angin yang mengusap pasir di pantai itu, asap dari mulutnya terbang ke langit---terbebas dari keharusan apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun