Mohon tunggu...
Bustamin Wahid
Bustamin Wahid Mohon Tunggu... Administrasi - Nika

Bustamin Wahid ad/ Alumni Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kosmologi Sorong: Kota Banjir dalam Ingatan Sejarah Manusia

2 September 2022   21:18 Diperbarui: 3 September 2022   06:42 2420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By. Bustamin Wahid

Peneliti Sosiologi Lingkungan di Pusat Studi Melanesia (PSM)

Jika pertanyaan tentang kosmos-sosial di Sorong, maka mayoritas jawabannya dengan cara yang beragam. Perspektif tak lekang dari satu pengetahuan atas jiwa dan kosmologi, oleh karena itu dalam fenomena apa saja pasti di jawab dengan pandangan yang berbeda-beda. Jadi tidak absolut, misalkan perkara banjir tak hanya dijelaskan dengan pendekatan ilmu alam semata, ada pendekatan lain misalnya tasawuf lingkungan atau sains tradisonal. 

Jika kita merenungkan kembali tentang sejarah filsafat atau sejarah intelektual maka termaktub bahwa hubungan manusia dengan alam lingkungannya atau dunia realitas adalah kerja atau aktivitas berbuat. Maka manusia tidak di pisahkan dari sejarah, sejarah tanpa manusia adalah khayal dan manusia tanpa sejarah adalah statis. 

Manusia dengan sejarah adalah dwitunggal, manusia berada dalam dimensi penyatuan dualitas (sebagai-subjek objek sekaligus yang tak terpisah), kendati dalam kehidupan itu tak lekang dari satu pandangan dunia yang meruncing soal bineritas sosial. 

            

Perspektif material sejarah adalah hasil perjuangan umat manusia berhadap dengan dunia realitas atas masyarakatnya, dan secara formal sejarah adalah pengalaman umat-umat manusia dalam menghayati hidup dan bahkan dijadikan ingatan yang futuristic. Manusia dituntut untuk belajar dari peristiwa yang lampau, sehingga tidak terulang peristiwa yang lama, walau demikian hendak peristiwa itu terus berulang. 

Murtadha (1986) salah satu pemikir dan ulama kawakan dunia dari Iran menyebutkan bahwa sesungguhnya sejarah itu adalah pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa, dan keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan di masa kini. Dalam konteks Sorong semua memahami atas itu, tapi tidak bisa menggerakkan sejarah besar untuk menghindari peristiwa kelam itu. Kita harus merenungkan bahwa falsafah sejarah bahwa hanya yang tubuh yang berubah, berkembang dan memiliki kearifan dialah manusia.

Di awal agustus 2022, kita berjumpa dengan beberapa sesepuh suku Moi di Sorong, cerita mereka bernas mengulas tentang entitas dengan adatnya dan epistemic pengetahuan. Suku Moi punya sains tradisonal yang baik bernama rumah adat Kambik yang membatin dalam ritual kecerdasaa/pengetahuan. Orang Moi telah mengajari banyak hal termasuk belajar mencintai alam dengan cara yang paling filosofis, bukan saja itu beberapa pendapat tentang tata ruang telah di bicarakan dalam pengetahuan suku Moi. Umat manusia di hak ulayat mereka dibanjiri, insiden/bencana, kita pun menaruh duka dan belasungkawa yang tinggi, tapi sembari memberi makna bahwa manusia, alam dan adat/penguasa alam tak lagi harmonis.  

Banjir Minyak: Perebutan Para Serakah   

Greg Poulgrain di tahun 1999 mempublikasi di Journal of Pacific Histoy  dengan judul  "Delaying the 'Discovery' of Oil in West New Guine" memberikan pengetahuan kepada kita bahwa terjadi perebutan luar biasa antara Jepang, Belanda dan AS atas kekayaan di miliki tanah Maladum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun