Mohon tunggu...
Burhanuddin Jamal
Burhanuddin Jamal Mohon Tunggu... Penulis Buku

Berbagi Pengalaman ! Berbagi Perjalanan ! Berbagi Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

26 Tahun Maluku Utara: Jalan yang Tak Pernah Selesai, Dibungkus Kado Konser

13 Oktober 2025   10:30 Diperbarui: 13 Oktober 2025   10:36 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Sofifi, malam itu lampu-lampu menari di udara. Musik menggelegar. Orang-orang datang dari jauh, dari Halmahera, dari Tidore, dari mana saja. Mereka datang untuk melihat panggung besar, suara penyanyi yang menggetarkan, dan mungkin sebentar saja melupakan debu di jalan yang mereka lalui. Di sana, di tengah sorak dan sorot lampu, Maluku Utara merayakan ulang tahunnya yang ke-26.

Dua puluh enam tahun, sebuah angka yang di atas kertas tampak sederhana, tapi di dalamnya tersimpan rentang waktu yang tidak pendek. Ia bukan sekadar bilangan tahun, ia adalah penjumlahan dari perjalanan yang penuh luka kecil, janji besar, dan langkah-langkah yang belum selesai. Dalam usia itu, manusia biasanya sudah tahu arah hidupnya. Tapi bagi sebuah provinsi muda seperti Maluku Utara, dua puluh enam tahun masih adalah pencarian, antara masa lalu yang membentuk, dan masa depan yang belum tiba.

Dulu, tahun 1999, provinsi ini lahir dengan harapan yang nyaris utopis. Dari rahim sejarah yang panjang, dari keresahan daerah-daerah yang merasa jauh dari pusat, lahir sebuah janji baru mendekatkan kesejahteraan, menghadirkan pemerintahan yang tak hanya beralamat di peta, tapi hadir di pelabuhan, di ladang, di sekolah. Sofifi ditetapkan sebagai ibu kota sebuah kota yang dibayangkan tumbuh dari tanah sunyi di tepi laut Halmahera, tempat segala rencana pembangunan dimulai. Tapi, seperti halnya banyak mimpi, sebagian tinggal di atas kertas. Sofifi kini masih seperti janji yang tertunda indah, tapi belum selesai.

Sejarah di sini tidak pernah sederhana. Dari masa ketika rempah adalah emas dunia, Maluku Utara pernah menjadi pusat yang dicemburui kerajaan besar. Ternate dan Tidore menulis bab mereka sendiri dalam sejarah Nusantara, berdagang dengan bangsa-bangsa jauh, melawan penjajahan dengan darah, dan akhirnya menjadi bagian dari republik yang luas ini. Tapi sejarah besar itu kini terasa seperti gema yang jauh bergema di dinding kantor pemerintahan, tapi jarang hidup di ladang, di pasar, di jalan-jalan berlubang yang masih menunggu diperbaiki.

Konser malam itu menandai perayaan yang riuh. Tapi barangkali juga sebuah pelarian. Karena di luar arena panggung, jalan yang menghubungkan kampung-kampung masih menganga, menelan roda kendaraan dan harapan. Di beberapa sekolah, atapnya bocor, papan tulisnya retak, dan di beberapa pulau, sinyal telepon masih datang dan pergi seperti gelombang pasang. Mungkin di sinilah paradoks pembangunan itu lahir negara yang gemar membangun panggung, tapi pelit memperbaiki jalan.

Amartya Sen, seorang ekonom yang puitis dalam pikirannya, pernah menulis bahwa pembangunan sejati adalah kebebasan. Tapi kebebasan macam apa jika anak-anak masih harus berjalan kaki berjam-jam menyeberangi sungai untuk sekolah? Kebebasan macam apa bila air bersih masih menjadi kemewahan, dan rumah sakit masih jauh di seberang laut?

Di Halmahera, di tanah-tanah nikel, truk-truk tambang menderu sepanjang hari. Mereka membawa kekayaan yang tak pernah tinggal lama. Di tepi jalan, rumah-rumah kayu masih berdiri sederhana, menatap kendaraan besar yang lalu-lalang seperti dunia lain yang tak mereka miliki. Seperti kata Andre Gunder Frank, kekayaan kadang bergerak menjauh dari sumbernya. Masyarakat sekitar hanya jadi penonton bahkan ketika tanah tempat mereka berpijak ikut diangkut pergi.

Tapi di antara debu dan deru mesin itu, selalu ada manusia yang masih percaya. Petani yang tetap menanam, nelayan yang tetap melaut, guru yang tetap datang ke sekolah meski jalanannya becek.  Mereka adalah wajah pembangunan yang tak masuk ke dalam laporan statistik, rang-orang yang menambal lubang bukan dengan dana proyek, tapi dengan keyakinan bahwa tanah ini masih bisa diperbaiki.

Pemerintah menyebut konser itu pesta rakyat. Tapi mungkin rakyat yang sesungguhnya bukan mereka yang berdiri di depan panggung, melainkan mereka yang di rumah karena ongkos kapal ke Sofifi terlalu mahal, karena pekerjaan di ladang tak bisa ditinggalkan. Mereka tak menonton pesta, tapi mereka tetap membayar harga pembangunan yang lambat. Namun siapa yang bisa melarang orang untuk bergembira? Mungkin manusia memang butuh hiburan agar tidak gila memikirkan lubang-lubang di jalannya sendiri. Mungkin konser itu, dengan segala gemerlapnya, adalah sejenis anestesi menenangkan rasa sakit tanpa benar-benar menyembuhkan.

Goenawan Mohamad pernah menulis, dalam satu catatannya, bahwa kita sering lupa, merdeka bukan berarti selesai. Begitu pula dengan provinsi ini. Maluku Utara memang lahir dari kemerdekaan administratif, tapi belum tentu merdeka dari ketimpangan. Ia masih memanggul beban sejarah yang panjang dari kolonialisme rempah sampai tambang modern, dari janji pembangunan hingga kenyataan birokrasi yang berat langkahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun