Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pandusan Tirto Husodo, Alternatif Pengobatan

10 Juni 2015   12:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:08 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo, 09/ 06/ 2015

Orang sekitar menyebutnya kali pandusan banyu panas, kata pandusan bagi saya kagok, namun Pak Asri perangkat desa kemarin kenagian tugas jaga mengatakan, orang Jawa suka mencari enaknya dalam mengatakan sesuatu padusan (pemandian) menjadi pandusan, katanya biar mudah mengucapkannya.

 

Saya sejak kecil sudah berkali-kali ke sungai yang mengalirkan air panas ini, dulu jaman kecil ayah saya sering mengajak anak-anaknya ke tempat ini, ayah saya selalu membawa telur-telur mentah, ketika ditanya waktu itu tunggu saja kejutannya. Sesampai di tempat ini bapak menaruh telur-telur ayam itu pada kubangan yang terus mengeluarkan gelembung-gelembung, seperti air mendidih, dan beberapa waktu kemudian ayah saya mengambil telur-telur itu dengan menggelindingkan dengan kayu ke arah tepi, dan mengambilnya dengan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (jebor) lalu menyelupkan pada kubangan lain yang tidak mengeluarkan gelembung, mungkin maksut ayah saya mendinginkan telur yang sudah matang tersebut untuk bisa segera dimakan. Luar biasa pengalaman masa kecil masih terngiang hingga kini. Dulu sungai ini masih berbtuk kubangan-kubangan dan kedung (sungai yang dibentdung) untuk mandi atau berenang. Bahkan hingga awal januari masih berbentuk begitu, dengan ciri khas aliran airnya mirip tumpahan-tumpahan minyak berwarna tembaga.

 

Sungai ini  berasal dari rembesan mata air yang saling menyatu membetuk sungai dari lereng gunung Wilis, sungai ini mengalir ke arah barat daya ke arah kecamatan Pulung, sungai ini masuk wilayah desa Wagir Lor Ngebel, jarak dari telaga ngebel sekitar 3 km kearah tenggara, kalau jalannya tidak longsor lokasi ini lebih mudah diakses dari Pulung, dengan begitu pengunjung harus memutar lewat telaga Ngebel.

 

loket masuk dan gapura

 

 

tepat disisi jembatan

 

 

 

Ada yang baru bila dibanding 2-3 bulan yang lalu, dulu masih berupa sungai yang dipinggirnya berupa kubangan (belikan) dan kedungan (kolam alam di sungai yang punya kedalaman),  jalan setapak licin disisi utara jembatan. Namun sekarang berdiri bangunan gapura komplit loket pembayaran, serta pagar yang berada disisi utara jembatan. Sementara jalan masuk yang dulu licin sekarang di cor semen sampai lokasi sumber air panas, dan terus masuk kedalam ada kolam-kolam mirip bathup.

 

Menurut pak Asri perangkat desa Wagir Lor yang kebetulan mendapat giliran jaga, lokasi ini dibangun pada awal tahun ini, ini untuk antisipasi pengunjung yang semakain ramai, terutama pengunjung dari luar kota.

 

Untuk masuk dikenakan tiket 5 ribu rupiah, pemasukan ini dikelola pihak desa dan pembagiannya antara pihak desa yang membangun fasilitas dengan pemilik lahan. Pandusan ini buka 24 jam, penjaga dibagi 3 shif pagi, sore, dan malam. Kunjungan dalam hari biasa 100-an orang, dan hari libur mencapai 300-an orang. Pengunjung terbanyak dari luar Ponorogo, seperti tampak mini bus yang membawa rombongan seperti gambar diatas. Pengunjung ke sini bertujuan bukan berwisata akan tetapi berusaha mencari penyembuhan atas penyakit yang diderita. Penyakit tursebut diantaranya rematik, nyeri tulang, penyakit kulit, persendian, stroke yang mengalami kelumpuhan.

 

Seperti kata pak Thukul dari Caruban Madiun mengatakan, dia mengantarkan istrinya yang mengalami bengkak-bengkak pada persendian tangan dan jarinya, meski sudah berkali-kali berobat medis belum mendapa kesembuhan, di tempat ini dia sudah mulai awal januari dulu, dan kesini seminggu sekali, sebelum diberlakukan tarif dia kesini cuma membawa kembang setaman (sesaji), namun semenjak diretribusi dia cuma membayar retribusinya saja. Dulu dia dan istrinya berendam pada kedungan, namun semenjak dibuat petak-petak mirip bathup dia tinggal mengalirkan air panas dan segera berendam dalam petak yang ada saluran pembuangannya ini, dengan dibikin kotak kotak ini air bekas orang lain bisa langsung dibuang dan diganti dengan air panas yang baru yang bersih.

 

Orang lebih suka berendam pada malam hari, menurut para pengunjung malam hari akan lebih mujarab karena tubuh dalam keadaan rileks, tapi entahlah kebenarnya.

 

"Yang penting kita sugesti, kita percaya mas, itu modalnya, meski berobat ke dokter kalau kita tidak punya rasa percaya ya percuma, yakin kalau Tuhan akan memberi kesembuahan lewat tempat ini...." kata Wiyoto dari Wonogiri yang datang berombongan membawa mini bus.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun