Mohon tunggu...
SYAMSUL AZZAR
SYAMSUL AZZAR Mohon Tunggu... -

Saya seorang jurnalis harian ekonomi nasional berbasis di DKI Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perilaku Tamak Politisi

21 April 2014   23:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:22 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tingkat antusias rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilih mereka pada pemilihan legislatif 9 April 2014 lalu sejatinya cukup tinggi. Seorang Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di bilangan Jakarta menceritakan, dari 390-an warga yang terdaftar sebagai pemilih tetap, cuma sekitar 16 orang yang tidak datang menggunakan hak pilihnya, artinya tingkat golput cuma 4,1%.
Ada juga warga yang antusias memilih meskipun hanya berbekal Kartu Tanda Penduduk mencapai 21 orang. Tak peduli siapa yang menang, yang jelas tidak ada gontok-gontokkan antarpartai, atau sengketa di penghitungan suara di tempat ini. Dengan tulus sang ketua KPPS yang tak lain ketua RT pun menyampaikan terima kasih ke warga yang ikut menyukseskan pemilu ini. Ia memuji semangat warga yang guyub mulai membangun TPS sederhana, dan bersabar menunggu penghitungan suara yang baru kelar Kamis (10/9) dini hari. Penghitungan di kelurahan yang baru kelar menjelang subuh pun tak menyurutkan semangat anggota KPPS.
Kondisi ini memang tak mewakili pemilih secara nasional, seperti gambaran berbagai lembaga survei. Lembaga survei memperkirakan sekitar ada 27% warga tak memakai hak pilihnya, atau ada yang menyebut dengan golput.
Tapi, suara lebih dari 70% warga yang dengan tulus memilih calon anggota legislatif atau sekadar mencoblos gambar partai, kini sudah tidak lagi menarik perhatian bagi elite partai. Bahkan kerja keras calon anggota legislatif yang tersingkir hingga stres pun tak pernah dihargai elite.
Pemilu belum genap dua pekan, elite parpol sudah lupa kepada konstituen. Jadi jangan pernah berharap mendapat ucapan terimakasih, sebab kini elite sedang tamak-tamaknya  mengejar kekuasaan.
Sebagian elite memakai jualan agama untuk sekadar mendapat nilai tambah saat mengais kekuasaan. Apakah namanya poros tengah, atau Koalisi Indonesia Raya, tujuannya toh sama mendapat jatah berkuasa.
Inilah contoh perilaku bahwa pragmatisme politik lebih utama ketimbang etika politik. Gambaran budaya oportunistik yang dicontohkan elite parpol, ataupun tokoh yang gemar berburu kekuasaan, sudah menjadi kanker yang menggerogoti moral berpolitik di negeri ini.
Bahkan elite Partai Persatuan Pembangunan terang-terangan berkonflik internal sekadar memperebutkan dukungan kepada calon penguasa. Itupun dengan catatan, belum tentu yang didukung menang.
Menjelang penetapan jumlah dukungan perolehan suara dan kursi untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada 17 Mei 2014, aksi pedagang dan calo politik yang belum punya lapak di pemilu presiden, makin seru. Bisa jadi, bakal ada konflik yang lebih seru di partai lain.
Musti ingat, mengutip pesan mantan Presiden RI ke keempat KH Abdurahman Wahid, seorang pemimpin yang menang dengan berlumuran darah, tidak tinggi nilainya dalam sejarah dan jangka panjang. Memang mudah mengucapkan tapi sangatlah sulit mempraktikanya.

Salam,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun