Asal usul tahlil dilaksanakan secara luas.
Upacara tahlil yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok masyarakat islam di seluruh tanah air bermula dengan suasana terkabung nasional yaitu wafatnya ibu negara. Suasana berkabung nasional tersebut sehubungan dengan wafatnya ibu negara HJ. Fatimah Siti Hartinah Soeharto (IbuTien) pada tanggal 28 April 1996 tidak saja ditandai dengan perkibaran bendera setengah tiang sebagai tanda rasa duka yang sangat mendalam, tetapi juga diliputi oleh banyaknya suasana keagamaan yang teramat syahdu, yang membias secara luas dari upacara-upacara tahlil yang dilaksanakan oleh beberapa lapisan masyarakat Muslim di berbagai tempat di seluruh tanah air.
Upacara-upacara tahlil diselenggarakan secara khidmat, khusyuk, dan intens berbagai kelompok masyarakat dalam rangka mendoakan arwah almarhumah ibu negara, agar mendapat tempat yang baik disisi-Nya. Perlu anda ketahui suasana keagamaan seperti Shalat Gaib, Tadarus, dan upacara-upacara tahlil dilaksanakan secara spontan dan serentak di berbagai tempat pengajian dari masjid-masjid di seluruh tanah air.
Bersamaan dengan meluasnya upacara-upacara tahlil yang dilaksanakan kelompok-kelompok komunitas dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, maka timbullah suatu pertanyaan : dari manakah dan bagaimanakah asal-usul tahlil itu? Mari kita coba mendiskusikan dan melihat masalah ini sebagai suatu realitas objektif yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan memandang dengan kadar mata akademis dan tilikan ilmiah murni dan membuang jauh-jauh sikap apriori (yang sebelumnya), perasaan sentimen atau prasangka-prasangka yang ditimbulkan oleh fanatisme agama.
Tradisi tahlil
Tahlilan adalah suatu upacara keagamaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim tradisional (utamanya komunitas NU) dengan cara melanjutkan pujian-pujian kepada Allah dan diiringi pembacaan ayat suci Al-Qur'an. Upacara religius ini, yang diselenggarakan dengan perasaan khusyuk dan khidmat, dilakukan untuk memperingati hari meninggalnya orang tua dengan tujuan Memanjatkan doa untuk memohon ampunan dan rahmat bagi almarhum/almarhumah yang diperingati, serta mendoakan keluarga yang ditinggalkan menurut pandangan mayoritas ulama.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa tradisi dan upacara tahlil tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan ada yang beranggapan bahwa tradisi tahlil adalah warisan agama Hindu. Itulah sebabnya, kaum muslimin Puritan (modernis) tidak mengadopsi tradisi tahlil ini dengan alasan karena tidak ada contoh, baik secara implisit maupun eksplisit, yang dipraktikkan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Tetapi kaum muslim tradisionalis bergaumen bahwa walaupun tahlil tidak disebut dalam Teks Al Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi ia merupakan amalan-amalan yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Apakah benar ajaran Hindu?
Berdasarkan penelitian Agus Sunyoto, seorang sejarawan dan budayawan yang banyak mengkaji sejarah Walisongo dan penyebaran Islam di Nusantara, pandangannya mengenai asal usul tahlil memang tidak semata-mata berasal dari tradisi Hindu atau Buddha yang diislamkan.
Menurut argumennya, para Walisongo bukan hanya mengadaptasi tradisi lokal secara pasif, tetapi secara aktif memperkenalkan praktik-praktik keagamaan Islam yang kemudian disesuaikan dengan konteks budaya lokal yang sudah memiliki ritual peringatan kematian. Jadi, inti dari ritual tahlil (dzikir, doa, baca Al-Qur'an) dilihat sebagai bagian dari khazanah keagamaan Islam yang kemudian diintegrasikan ke dalam kerangka peringatan kematian yang sudah ada di masyarakat Jawa (misalnya peringatan hari ke-3, 7, 40, 100, 1000).
Agus Sunyoto, dalam beberapa karyanya (terutama "Atlas Walisongo"), berpendapat bahwa tradisi tahlil memiliki akar dalam praktik-praktik keagamaan Islam itu sendiri, yang dibawa oleh para penyebar Islam ke Nusantara. Ia mengaitkan praktik berkumpul untuk dzikir, membaca Al-Qur'an, dan berdoa bagi orang yang meninggal dengan tradisi Islam historis yang berkembang di wilayah Timur Tengah pada periode tertentu, termasuk yang mungkin memiliki pengaruh dari tradisi Syiah, khususnya pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir atau tradisi dari Hadramaut.
Penelitian tersebut diperkuat oleh beliau dengan mengajukan fakta bahwa kedutaan besar Iran di Jakarta menyelanggarakan upacara tahlil sehubungan dengan meninggallnya pemimpin spiritualnya yang sangat dihormati yaitu Ayatullah Ruhullah Khomeini pada tanggal 3 Juni 1989. Sunyoto menambahkan bahwa tradisi tahlil ini dilanjutkan pula dengan tradisi dan upacara haul yang dilaksanakan untuk memperingati hari kematiannya setiap tahunnya.
Dengan demikian, menurut penelitian Agus Sunyoto, tahlilan bukanlah murni tradisi Hindu yang diubah, melainkan praktik keislaman yang memiliki akar sejarah dalam tradisi Islam Timur Tengah (termasuk potensi pengaruh Syiah atau tradisi Sufi yang terkoneksi) yang kemudian bertemu dan berakulturasi dengan pola peringatan kematian dalam budaya Nusantara pra-Islam.
Makna Agamis dan Sosiologis
Setelah kita mengetahui asal-usul tradisi tahlil, ada sebuah pertanyaan yang timbul dari dalam hati ini yaitu : Apa Hakikat Tahlil Tersebut bagi para pelakunya dari perspektif ritus keagamaan dan bagaimana para pengamalnya menempatkan upacara semacam itu dalam konteks agamanya? Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A dalam buku NU Moderatisme dan Pluralisme menyampaikan bahwa tahlil di mata para pengamalnya merupakan suatu manifestasi dan bentuk prosesi ritual yang bertujuan untuk mendoakan arwah orang tua atau orang yang meninggal untuk dimaafkan kesalahannya, diterima ruhnya oleh Allah SWT dengan penuh ampunan dan keridhaan, serta ditempatkan oleh-Nya di tempat yang teduh, tenang, dan sejuk. Dari perspektif sosiologis agama, orang-orang yang masih hidup - melalui rangkain upacara tahlil tersebut - ingin berbuat baik kepada orang yang masih hidup dengan bersedekah maupun dengan yang sudah meninggal dengan mendoakannya melalui pembacaan Al-Qur'an dan melalui upacara doa yang mereka panjatkan dalam rangkaian ritus-ritus tahlil tersebut.
Salah satu cara tersebut adalah mengekspresikan kebijakan dan perbuatan baik mereka yang masih hidup kepada orang yang meninggal dunia. Mereka berkumpul dalam suatu tempat baik masjid, kediaman rumah yang berduka, atau peristirahatan terakhirnya dan menyelenggarakan tahlil secara bersama dengan keluarga maupun dengan saudara seiman dalam lingkup satu desa secara bersama dengan memanjatkan doa yang dipersembahkan kepada arwah yang telah meninggal. Yang dimaksud Arwah adalah inti dan substansi kehidupan manusia, sedangkan jasad hanyalah berfungsi sebagai wadah dari arwah tersebut. Itulah sebabnya, arwah inilah yang kembali kepada Tuhan ketika manusia sudah meninggal. Pada peringatan hari meninggal yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, arwah orang meninggal didoakan oleh para pengamal tahlil tersebut agar perjalanan arwah ke hadirat-Nya (Allah SWT) berlangsung dengan baik dan tenang, serta mendapatkan limpahan kasih sayang, perlindungan, dan curahan ampunan-Nya yang besar. Sementara jasad manusia dikubur dan lebur menjadi tanah.
Maka demikian, tahlil / tahlilan merupakan suatu bentuk pengamalan ritus dan prosesi agamawi yang merefleksikan hasrat dari para pelaksananya untuk berbuat baik kepada seseorang, tidak saja tatkala ia masih hidup, melainkan juga tatkala ia telah meninggal dunia. Lebih-lebih, kalau yang meninggal dunia ialah ayah dan Ibu karena menurut Hadist riwayat Muslim menyebutkan bahwa salah satu amal yang tidak terputus setelah kematian adalah doa anak yang saleh. Tahlil sudah mentradisi dikalangan komunitas NU, berakar pada budaya yang kental dengan nuansa kiaiisme dan pesantrenisme.
Saya menyadari tulisan ini yang saya buat masih mengandung kelemahan atau kekurangan. Saya sadar bahwa segala kelemahan dan kekurangan ini berasal dari diri saya sendiri. Jika panjenengan yang membaca ini menemukan kelebihan-kelebihan dalam tulisan ini, itu semua berasal dari Allah SWT. Yang memberikan bimbingan, petunjuk, dan kekuatan kepada saya dalam menulis menilik tradisi tahlil dalam makna Agamis dan sosiologis Agamis. Dengan segala senang hati saya menyambut baik dan menerima segala masukan, saran, dan kritik untuk memperbaiki tulisan ini. Terimakasih atas kritiknya, saya berharap tulisan ini dapat memperluas wawasan ilmiah dan memperkaya khazanah keilmuan kita, Aamiin ya Rabbal 'Allamin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI