Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Syeikh Nafis Menjembatani Martabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh

11 Mei 2025   17:02 Diperbarui: 11 Mei 2025   13:32 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya mencoba mengarahkan Gemini AI untuk bikin tulisan dengan tema upaya Syeikh Nafis menjembatani Martabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh. Rupanya dia melaksanakannya dengan baik. Jadilah tulisan berikut. Tanpa Gemini AI tulisan ini tentu akan saya bikin dengan susah payah. 

Syeikh Nafis Menjembatani Martabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh 

 

1. Pendahuluan

Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari adalah seorang tokoh agama terkemuka yang lahir di Martapura, Kalimantan Selatan, diperkirakan pada tahun 1735 Masehi atau 1148 Hijriah. Beliau merupakan keturunan dari Kesultanan Banjar dan memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah Kalimantan Selatan. Setelah mendapatkan pendidikan dasar agama di Martapura, Syeikh Nafis melanjutkan studinya ke Mekah, di mana beliau mendalami ilmu tasawuf dan ilmu-ilmu keislaman lainnya dari berbagai guru. Beberapa gurunya antara lain Siddq b. Umar Khn,Abdallh b. Hijz al-Sharqw, dan Muhammad b. Ahmad al-Jawhar. Keberhasilannya dalam mempelajari tasawuf mengantarkannya pada gelar 'Syeikh al-Mursyid', sebuah gelar yang menunjukkan otoritasnya untuk mengajarkan ilmu tasawuf.Karya beliau yang paling signifikan adalah kitab Ad Durrun Nafis (Permata yang Indah), yang ditulis di Mekah sekitar tahun 1785-1786 Masehi atau 1200 Hijriah. Kitab ini juga dikenal dengan judul lengkap Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Af'al wa al-Asma' wa al-Shifat wa al-Dzat al-Taqdis.Meskipun demikian, kitab ini tidak luput dari kontroversi karena ajaran metafisika Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud) yang terkandung di dalamnya. Selain Ad Durrun Nafis, Syeikh Nafis juga menulis karya lain yang berjudul Kanzus Sa'adah, sebuah manuskrip yang membahas istilah-istilah dalam ilmu tasawuf.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Syeikh Nafis al-Banjari, dalam kitab Ad Durrun Nafis, berupaya menjembatani doktrin kosmologi Sufi Martabat Tujuh (Tujuh Tingkatan Wujud) dengan konsep teologis Asy'ari Sifat Dua Puluh (Dua Puluh Sifat Allah). Martabat Tujuh sendiri memiliki akar dalam konsep Tajalli (Teofani) Ibn Arabi dan dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti Abd Karim al-Jili dan Muhammad ibn Fadhullah al-Burhanpuri. Karya al-Burhanpuri, Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi, merupakan teks kunci dalam doktrin ini. Secara ringkas, tujuh tingkatan wujud tersebut adalah Ahadiyyah (La Ta'ayyun), Wahdah (Ta'ayyun Awwal/Haqiqat Muhammadiyah), Wahidiyyah (Ta'ayyun Thani/A'yan Thabitah), Alam Arwah, Alam Mithal, Alam Ajsam, dan Alam Insan. Doktrin ini erat kaitannya dengan Wahdatul Wujud, yang menjelaskan emanasi atau pancaran ciptaan dari Esensi Ilahi melalui tingkatan-tingkatan ini. Di sisi lain, Sifat Dua Puluh adalah doktrin sentral dalam teologi Sunni Asy'ari, yang merinci dua puluh sifat wajib bagi Allah. Doktrin ini berlandaskan karya-karya seperti Umm al-Barhn karya al-Sans dan memiliki signifikansi serta pengajaran yang luas di dunia Melayu.

Kehadiran simultan dan potensi ketegangan antara kerangka kosmologi Sufi seperti Martabat Tujuh (yang sering dikaitkan dengan Wahdatul Wujud) dan teologi Asy'ari yang lebih ortodoks yang diwakili oleh Sifat Dua Puluh di dunia Melayu menciptakan lanskap intelektual yang menarik. Syeikh Nafis, sebagai seorang ulama Sufi dengan kecenderungan Asy'ari , kemungkinan besar menavigasi lanskap ini dalam Ad Durrun Nafis. Berbagai sumber menunjukkan popularitas ajaran Sufi, termasuk Martabat Tujuh, dan Sifat Dua Puluh berbasis Asy'ari di kepulauan Melayu. Wahdatul Wujud, yang sering dikaitkan dengan Martabat Tujuh, telah menghadapi kritik dari kalangan yang lebih ortodoks. Syeikh Nafis, yang diidentifikasi mengikuti mazhab Asy'ari dalam teologi , tentu menyadari perdebatan teologis ini dan kemungkinan besar membahasnya dalam karyanya. Hal ini menunjukkan bahwa upayanya untuk menjembatani kedua konsep ini mungkin melibatkan rekonsiliasi perspektif yang berpotensi berbeda.

2. Memahami Martabat Tujuh (Tujuh Tingkatan Wujud)

Doktrin Martabat Tujuh berakar pada konsep Ibn Arabi tentang emanasi alam semesta dari Realitas Absolut. Ibn Arabi sendiri mensistematisasikannya menjadi lima hadarat (kehadiran). Namun, doktrin ini kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi tujuh martabat oleh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri dalam karyanya Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi sekitar tahun 1590 Masehi atau 1009 Hijriah. Martabat Tujuh memperoleh penerimaan dan pengaruh yang luas di kalangan penulis dan praktisi Sufi Melayu. Beberapa tokoh kunci yang membahas atau menyebarkan doktrin ini di dunia Melayu antara lain Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Abd al-Rauf al-Singkili, dan Abd al-Samad al-Palimbani.

Tujuh tingkatan manifestasi dalam Martabat Tujuh adalah sebagai berikut:

Martabat Ahadiyyah (Tingkatan Keesaan): Tingkatan esensi mutlak Allah, melampaui segala sifat atau penentuan (La Ta'ayyun).Digambarkan sebagai Dzat tanpa bentuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun