Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tarik Tambang antara Nasionalis Muslim dan Nasionalis Islamis

14 November 2020   09:24 Diperbarui: 14 November 2020   09:28 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Perjuangan penghabisan
Kumpulah melawan
Internasionale
Pasti di dunia"

Ki Hadjar Dewantara

Lirik lagu di atas adalah penggalan akhir refrain dari lagu berjudul Internasionale. Lirik ini digubah oleh Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Soewardi, kelak ditahbis sebagai Bapak Pendidikan Nasional, menerjemahkan lirik lagu L'Internationale yang berbahasa Perancis ke Bahasa Melayu (saat itu belum ada Bahasa Indonesia).

Lirik orisinal L'internationale dicipta kali pertama oleh Eugene Pottier (1816-1887) pada Juni 1871. Sebagai lagu, ia menjadi himne kebangsaan kaum anarkis, sosialis, komunis, sosial-demokrat dan sosialis demokratik. Terjemahan Soewardi atas lagu tersebut dimuat lengkap pertama kali di harian Sinar Hindia pada 5 Mei 1920. Sinar Hindia adalah surat kabar yang dikeluarkan oleh Sarekat Islam Semarang yang dikenal juga sebagai "Sarekat Islam Merah".

Terma "internasional" lekat dengan gerakan sayap kiri. Dalam sejarah Eropa abad ke-19 dikenal yang namanya International Workingmen's Association (IWA). Gerakan ini santer disebut dengan International Pertama. Titimangsa 28 September 1864, bertempat di St. Martin Hall, London, organisasi yang berisi kaum radikal ini mengadakan rapat. Turut berhadir di situ kaum nasionalis, sosialis, republikan, termasuk Pierre Joseph-Proudhon (pendiri anarkisme), dan Karl Marx yang akan memiliki peran sentral di organisasi tersebut. Internasional Pertama berumur dua belas tahun. Hidup susah payah karena menaungi berbagai kalangan yang berseteru secara ideologis. Warsa 1872 memberikan letupan di dalam organisasi tersebut dengan pecah menjadi dua garis ideologis sosialis yang dikerucutkan dalam dua belahan "merah" dan "hitam". Merah jadi simbol kaum marxis dan hitam bertaut dengan simbol kaum anarkis.

Sejatinya, secara umum ideologi internasionalisme tidak memunculkan letupan emosional yang sama dengan nasionalisme. Orang yang menyokong internasionalisme lazimnya menentang perasaan emosional yang diusung oleh nasionalisme. Bagi mereka nasionalisme itu memecah-belah dan menggiring kepada konfrontasi berbahaya di antara bangsa-bangsa.

Lyman Tower Sargent (1987) dalam Contemporary Political Ideologies meneroka bahwa kaum pengusung internasionalisme percaya bahwa dunia seharusnya bersatu entah dalam satu atau lain cara. Meskipun mereka tak seluruhnya sepakat cara apa yang akan berperan menyatukan ini.

Beberapa, misalnya, menggagas tentang sebuah pemerintahan dunia dengan kekuasaan yang sangat kuat. Yang lainnya berpikir tentang sejenis konfederasi longgar. Yang lain lagi mengajukan satu sistem pemerintahan federal laiknya Amerika Serikat, dengan kekuasaan yang dibagi antara satu pemerintahan dengan pemerintahan lainnya di setiap wilayah yang mendirikan pemerintahan dunia. Namun, yang lainnya tak yakin bentuk persatuan macam apa yang bakalan diambil tetapi sangat yakin bahwa sejumlah bentuk bersifat esensial.

Internasionalisme, Nasionalisme, dan Islamisme

Pengusung nasionalisme berdiri di seberang kalangan internasionalisme. Meski gagasan nasionalitas ini berawal di Eropa, namun gelombang pasang terbesarnya berkibar seiring Perang Dunia II. Perang Dunia II membawa pada nasib baru di wilayah-wilayah yang dulunya di bawah koloni Eropa. Angin segar nasionalisme bersuit kencang. Eropa dipaksa melepas kuku-kuku kolonialismenya dan pada gilirannya berdirilah negara-negara baru bekas jajahan Eropa. Rata-rata bentuknya adalah nation-state. Terjemahan kita dengan gampang merekanya sebagai negara-bangsa.

Menariknya, Bung Karno satu saat pernah mengeluarkan ujaran yang menegaskan relasi timbal-balik antara nasionalisme dengan internasionalisme. "Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar dalam bumi nasionalisme. Sebaliknya nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sari internasionalisme," ujarnya dalam Nasionalisme, Marxisme dan Islamisme (1926).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun