Hasilnya adalah apa yang diistilahkan sebagai inflasi. Uang yang sejatinya tidak berharga tadi akan terus mengikuti nilai komoditas.
Kita melihatnya sebagai kejadian "apa-apa tambah naik". Padahal kejadian sebenarnya adalah nilai uang yang semakin turun karena memang pada dasarnya tidak ada harganya. Yang membuatnya berharga adalah karena kertas bergambar cantik itu dicetak oleh negara.
Inflasi itu nyata kita alami sejak dulu, bahkan konon di zaman Nabi Muhammad pun sudah terjadi inflasi. Hanya kebanyakan dari kita tidak (mau) memahaminya, mungkin karena terlalu sibuk mencari nafkah demi keluarga tercinta.
Coba deh diingat-ingat lagi, sebelum kenaikan harga BBM sekarang ini harga mie instan sudah lebih dulu naik sebagai imbas meningkatnya harga gandum dunia. Lalu sebelum itu pernah pula kejadian harga minyak goreng melambung, pun demikian harga telur ayam.
Ngomel tidak ngomel, kita harus menghadapi semua itu. Kita menggerutu ataupun tidak, tetap saja semua komoditas akan naik harganya kalau memang sudah waktunya naik. Uang kertas kita yang sebetulnya tidak berharga itu yang akan selalu dipaksa mengikuti nilai komoditas.
Kalau kita dapat bertahan sewaktu harga mie instan, minyak goreng, dan telur ayam semuanya naik, maka seharusnya kita akan tetap baik-baik saja dengan kenaikan harga BBM ini. Toh, ini bukan kali pertama, bukan?
Maka, yang harus kita lakukan hanya satu hal: beradaptasi. Seperti kata satu misattributed quote berbahasa Inggris: adapt or die. Mohon maaf, mengomel dan menggerutu tidak tergolong tindakan beradaptasi.