Sejatinya kesadaran harus dibangun pemerintah. Jangan menagih rakyat untuk setia. Sementara pemerintah abai pada kebutuhan dan keinginan rakyat. Seperti saat ini, ketika ada rakyat yang menolak Pilkada Serentak dilaksanakan 9 Desember 2020, pemerintah tak memberi ruang mengakomodasi. Kalaupun tidak mau menghargai pendapat tersebut, paling tidak ego sektoral itu dilunakkan. Yang dibutuhkan rakyat bukan arogansi, kesombongan dan sok jagoan pemerintah.
Sebab, sewaktu-waktu rakyat juga bisa masa bodoh. Rakyat yang memegang kedaulatan tertinggi boleh saja melepas pemerintah, bersama pemangku kepentingan Pilkada untuk meramaikan hajatan Pilkada sendiri. Tanpa rakyat mau terlibat lagi. Berdoalah, agar kesadaran kolektif rakyat tidak terkonstruksi dengan rapi. Dengan begitu, provokasi dan proparanda dapat dilakukan pemerintah demi melemahkan simpul-simpul massa rakyat yang bisa jadi akan melakukan boikot massal saat Pilkada digelar nantinya.
Ketika seluruh kesadaran rakyat terkoneksi dalam aras gerakan massif boikot Pilkada, hal itu akan menjadi aib demokrasi. Mencoreng pemerintah dan sekutu-sekutunya yang mau memaksakan Pilkada dilaksanakan tahun 2020. Saat ini tak dapat kita ingkari, rakyat mulai jenuh, tersadarkan atas situasi tekanan yang mulai penuh tanda curiga karena Covid-19. Arus Covid-19 menggema, tapi Pilkada yang memicu kerumunan akan dilaksanakan.
Di tengah hujan pandemi yang meningkat, agenda politik malah diterapkan, cukup problematik. Pintu masuk adanya keanehan di situ, di mana rakyat harus hidup sehat, menerapkan social distancing, menghindari kerumunan. Tapi Pilkada dijalankan. Bayangkan saja, dari pengalaman kita sejauh ini dalam berdemokrasi, tak ada yang nama demokrasi jaga jarak. Demokrasi itu hajatan, pesta, perayaan akbar dan kegembiraan rakyat dalam menentukan pemimpinnya.
Sehingga menjadi kontras, manakala diterapkan dengan menjaga jarak. Dengan menggunakan alasan patuhi protokal Covid-19. Demokrasi itu tidak mengajak rakyat untuk menjadi bisu. Menjadi anti sosial, bukan itu hakikat demokrasi melalui Pilkada. Melainkan sebagai fase mengkonsolidasi rakyat agar tetap bergembira menyalurkan hak-hak politiknya untuk menentukan pemimpinnya. Sesi di mana rakyat bisa berargumen, mengemukakan pendapat, mendengarkan gagasan calon pemimpinnya dan menjumpai mereka.
Pilkada bukanlah momentum membuat tembok. Yang berjarak antara calon pemimpin dengan rakyat, atau melahirkan sekat rakyat dengan penyelenggara Pilkada. Kalau Pilkada berjarak dengan alibi menjaga jarak, itu bukan Pilkada namanya. Bisa menjadi ajang tipu-tipu, makelar dan seperti cara perjudian. Pentas demokrasi bukanlah seperti itu. Dalam situasi normal saja, Pilkada masih penuh rekayasa. Bagaimana jika situasinya abnormal? Bahaya mengancam demokrasi kita.
Banyak kasus kita temui. Di mana rakyat melakukan demonstrasi menolak hasil Pilkada karena penuh rekayasa. Keterbukaan, keadilan, integritas dan kemandirian penyelenggara Pilkada, pengawas sekaligus rakyat juga menjadi taruhannya ketika Pilkada dilaksanakan saat pandemi Covid-19. Bukan demokrasi abal-abal, asal-asalan dan membawa hasil demokrasi yang rusak kualitasnya. Rakyat berharap Pilkada wajib berkualitas capaiannya.
Tidak mudah Pilkada dalam kecemasan melahirkan ketenangan. Sesuai pengalaman keseharian kita, ketika seseorang cemas, ia menjadi tidak konsen melakukan segala urusan. Buntutnya, semua yang dikerjakan saat cemas adalah hasilnya tidak maksimal. Bahkan, mengecewakan dari yang diharapkan. Artinya Pilkada ketika mau dilaksanakan saat pandemi, sudah dapat diprediksikan akan mengecewakan hasilnya.
Boleh saja tumbalnya adalah para penyelenggara Pilkada digugat secara hukum. Kemungkinan lain yaitu proses pidana dapat saja terjadi, ketika kerja-kerjanya tidak berkesesuaian dengan akuntabilitas anggaran yang digunakan. Banyak problem, alhasil demokrasi hanya membawa mudharat di musim pandemi. Resiko lainnya, yakni bargaining kepentingan makin sulit terkontrol, karena demokrasi kita dikepung darurat kesehatan.
Mulai bermunculan penolakan Pilkada Serentak di daerah-daerah. Berpotensi suara-suara pekikan, nyaring melawan arogansi pihak yang memaksanakan Pilkada dilaksanakan 2020 mengkritas. Lalu mengalir seperti air suci dan membersihkan kotoran demokrasi dari mereka para penjahat demokrasi yang berhati bagai binatang. Tak mau turunkan wibawa, kemudian mencederai derajat rakyat. Hanya semau mereka saja, lantas rakyat seperti dipaksa harus laksanakan Pilkada. Inilah ketidakadilan.