Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

Jokowi dalam Parade Dinasti Politik

26 Oktober 2019   13:53 Diperbarui: 19 Juli 2020   07:37 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Dinasti Politik. (sumber: kompas.com)

Peran para pegiat demokrasi untuk membebaskan demokrasi dari penguasaan kelompok tertentu dan sentralistiknya kekuasaan, tidaklah mudah. Tantangannya malah makin beragam kini. Di Indonesia, tak ada praktek politik kita yang lepas dari membangun dinasti politik.

Jokowi yang sebelumnya dibela, diandalkan dan dianggap anti politik dinasti kini malah tersandera. Bisa saja ini karena takdir politik menguji beliau. Banyak contohnya memang, kadang politisi bicaranya lain. Lantas, berbuat lain lagi. Artinya tidak seiring-sejalan antara ucapan dan perbuatan dalam praktek politik.

Singkatnya Jokowi bukan dewa. Maqam berpolitiknya masih di dunia. Itu sebabnya, Jokowi tetap mengadopsi cara-cara layaknya yang dilakukan manusia. Kadang salah, khilaf dan inkonsisten. Itu fitrah manusia. Level spiritual politiknya belum seperti para Nabi tentunya.

Pemakluman perlu kita hadirkan untuk mengadili beliau. Selaku Presiden Republik Indonesia periode 2019 - 2024, Jokowi tentu menjadi teladan kita semua rakyat Indonesia. Atas situasi itu, karena beliau pemimpin publik, kita menuntut untuk menjadi figur yang konsisten.

Karena semua ucapan dan pernyataannya dalam konteks kepemimpinan, pasti dimintai pertanggung jawaban. Jokowi menjadi patron, mata panah, kompas, penyeimbang, pemberi solusi dan martil ditengah rakyat Indonesia yang meminta keadilan.

Seperti itu pula beliau dibutuhkan dalam konteks sosial lainnya. Beliau diposisikan sebagai teladan, bukan pemimpin bagi segelintir orang. Bukan pula pekerja partai yang dianggap budak oleh pimpinan partai politik. Dalam segmentasi lain, kita menyadari normal dan abnormalnya nafas politik kita tergantung Jokowi.

Mau maju, rusuh, damai dan terkebelakangnya Indonesia tergantung Jokowi. Dinasti politik menjadi satu penyebabnya nafas demokrasi terganggu. Karena tentu berpengaruh pada sirkulasi perkaderan politik. Mereka yang belum matang menjadi pemimpin dipaksakan menjadi pemimpin.

Konsekuensi logis dari diterapkannya dinasti politik. Terlahirlah banyak aib demokrasi. Misalkan, karena dinasti politik pemimpin publik dipaksa menjadi pemimpin, akhirnya dia korupsi. Menyalahgunakan kekuasaan. Membuat insiden politik yang memalukan reputasi anak bangsa.

Kekuatan dinasti politik itu ada pada kekuatan struktural kekuasaan. Ya, sudah pasti dengan menempuh cara abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Dinasti politik memang harus dipangkas. Apapun alasannya, ini tidak menunjang demokrasi kita.

Hanya dengan dinasti politik, mereka yang berduit dan punya kekuasaan gampang menang dalam politik. Sementara politisi yang teruji, lama dalam berproses sulit memenangkan pertarungan di demokrasi. Tentu indikatornya pada perebutan elektoral.

Dinasti politik juga bisa melahirkan penyakit berbahaya. Kangker ganas dan mematikan. Setelah melepas jabatan para pemimpin kebanyakan mengalami post power syndrome. Penderita gejala ini umumnya adalah mereka yang kehilangan kekuasaan dan jabatan. Menyebabkan mereka mudah sensi dan baper.

Demokrasi yang bermuara dari the people, by the people and for the people, harus dibenarkan. Diselamatkan, agar kedaulatan rakyat tidak disalahgunakan. Kelompok yang memelihara cara politik turun-temurun ini perlu diamputasi. Jokowi pun rupanya mulai tergoda dengan memperkuat dinasti politik.

Fakta menjelaskan bahwa sebelumnya Jokowi dinilai bukan politisi peternak dinasti politik. Sepertinya itu dulu. Saat ini malah lain, putra Jokowi malah digadang-gadang maju di Pilwako Solo. Anak menantunya juga dikabarkan akan bertarung di Pilkada. Ini bertanda, dinasti politik akan dilestarikan.

Semangat kolektif yang digelorakan melalui people power menjadi kurang berniai. Sebab ketika dihadapkan, maka pemimpin hari ini akan lebih condong memiliki politik keluarga. Meloloskan kepentingan keluarga terlebih dahulu, baru kemudian kepentingan umum diwujudkan.

Demokrasi kita akan suram lagi. Harapan soal pencerahan demokrasi, tidak akan terwujud. Kenapa begitu?, tentu karena paradigma pemimpin kita masih memberi ruang dan menanam bibit dinasti politik. Begitu pun di daerah-daerah, banyak Kepala Daerah yang memprioritaskan keluarganya.

Legitimasi rakyat yang diberikan, melalui Pemilu malah dikapitalisasi sekedar memenuhi sahwat politik. Kerja konkrit untuk mengutamakan kepentingan kolektif tergadaikan. Rantai Korupsi Kolusi dan Nepotisme tumbuh subur disini. 

Terkait dinasti politik ini ternyata Presiden Jokowi tak beda dengan Presiden Indonesia lainnya. Mereka membangun kerajaan politiknya. Dengan memperkuat dinasti politik. Berarti sama pikirannya, Jokowi mau melanggengkan kekuasaan melalui keluarga. 

Lihat saja Gibran, anak Jokowi yang dipersiapkan untuk merebut jabatan Wali Kota Solo. Bobby menantu Jokowi yang bersiap maju di Pilkada Kota Medan, tentu semuanya adalah cara menjaga dinasti politik.  Luar biasa, Jokowi sedang menyiapkan segala hal untuk menghidupkan dinasti politik. 

Jokowi sedang menampilkan parade atau pawai politik dinasti. Malu-malu tapi mau. Katakan tidak, tapi sebetulnya beliau mengiayak politik dinasti. Pemandangan demokrasi yang kurang elok sebetulnya. Kok, seperti cepat-cepat mencapai titik kulminasi. Akhirnya menjadi pemimpin karbitan. [*]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun