"Mahasiswa hanya bisa mengkritik, tanpa memberi solusi"
"Nanti dulu kritiknya, pemerintah sedang membereskan masalah COVID-19"
Banyak sekali anggapan negatif yang melimitasi bahwa kritik melulu dengan solusi. Sebenarnya apakah kritik hakikatnya melulu dengan solusi? Apakah kritik harus membangun? Apakah ada urgensi lain yang lebih penting dari kritik itu sendiri?
Apabila menilik ulang gagasan kritik dalam perspektif Abad Modern, kritik dilihat sebagai konsep sentral dan sebagai alat dari proses emansipasi. Dalam KBBI, kritik diartikan sebagai kecaman atau tanggapan[1]. Lalu, apa itu solusi? Dalam KBBI, solusi adalah jalan keluar[2]. Jadi, Bagaimana hubungan kritik dengan solusi? Apakah hubungannya berbentuk koherensi? Atau sebaliknya, justru kontradiksi?
Dalam perspektif Abad Modern, kritik dinilai sebagai kemajuan. Jika tidak ada kritik pasti tidak ada kemajuan, tetap berada pada status quo. Maka dari itu, relevansinya dengan saat ini jika pemerintah melarang kritik. Dapat disimpulkan bahwa ia melarang kemajuan. Logikanya dapat berbentuk seperti demikian:
Premis 1: Kritik adalah kemajuan
Premis 2: Pemerintah melarang kritik
Kesimpulan: Pemerintah melarang kemajuan
Pertama, kritik adalah proses emansipasi, maka dari itu kritik sendiri adalah self-reflection of knowledge atau refleksi atas pengetahuan yang manusia punyai. Ini erat kaitannya dengan epistemologi. Kedua, kritik dilakukan untuk barrier breaker of ideological manipulations (critique of ideology or enlightment).Â
Karl Marx menggunakan formasi teori kedua ini untuk membongkar kesadaran palsu terhadap kapitalisme. Kapitalisme baginya telah melakukan manipulasi ideologi. Ketiga, kritik dilakukan sebagai struggle against political injustice. Seperti halnya reformasi gereja yang merupakan kritik atas suatu rezim. Pada hakikatnya, kritik itu sangat sentral baik dalam epistemologi, ideologi, dan rezim itu sendiri.
Lalu, apakah kritik melulu dengan solusi? Tidak. Secara Inheren, kritik tidak melulu mensyaratkan solusi. Kritik itu adalah suatu hal yang kategoris dan tanpa syarat, esensinya adalah untuk menghentikan proses status quo. Jadi, sifatnya memang selalu negatif melalui bentuk interupsi karena kritik mengingatkan apa yang mesti dilakukan (self-reflection).
Sejak kapan kritik melulu beriring solusi? Pihak yang dikritiklah yang semestinya mencari solusi sendiri untuk semua kritik tersebut. Sudah untung dikritik, jadi bisa memperbaiki diri dengan mempelajari kritik-kritik tersebut![3]
Solusi sendiri, lain halnya dengan kritik. Tidak ada koherensi antara kedua hal tersebut, solusi adalah "hal tambahan". Secara inheren kritik tidak mensyaratkan adanya solusi karena kritik adalah self-reflection atas proses yang sedang berjalan. Akan tetapi, kritik jarang disukai karena bentuknya adalah interupsi.Â
Oleh karena itu, awam sering mengaitkan bahwa jika ingin mengkritik; setidaknya dengan solusi. Atau paling tidak sampaikanlah kritik dengan sopan. Pernyataan ini tidak keliru secara moral, tetapi perlu digarisbawahi bahwa solusi bukan merupakan bagian dari kritik itu sendiri.Solusi bukanlah tugas pengkritik, tetapi secara diplomatis manusia mempunyai kecenderungan untuk menerima kritik disertai dengan solusi (bagian keefektifan kritik).
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya kritik tidaklah melulu dengan solusi, mereka justru berkontradiksi bukan berkoherensi. Kritik itu membongkar, bukan membangun. Kritik itu negatif, jika positif itu dinamakan pujian. Akan tetapi, dalam konteks keefektifan kritik cenderung diterima jika kritik tersebut memberi suatu opsi atau alternatif lain dalam hal ini adalah solusi.Â
Kritik penting bagi kemajuan, maka harus dilakukan kapan saja dan diberi keterbukaan sepuasnya. Hanya status quo yang menyatakan urgensi lain lebih penting daripada kritik. Individu anti kritik mencerminkan bahwa ia masih terjebak dalam mentalitas Abad Pertengahan, yang mana kulturnya masih terikat dengan dogma-dogma. Ketakutan manusia terhadap kritik erat kaitannya dengan ketakutannya terhadap progresifitas.