Di Tengah hiruk-pikuk konser, fanbase, dan trending topic di dunia maya, generasi muda Indonesia terutama gen z dan generasi milenial tengah memainkan peran yang luar biasa. Â Selain itu, K-Pop telah menjelma menjadi budaya dan mengubah cara anak muda berpakaian, berbicara, hingga membelanjakan uang mereka. Fenomena ini memadukan rasa kecintaan mereka terhadap K-Pop meliputi musik yang catchy, koreografi memukau, hingga visual artis yang menarik menjadikan K-Pop lebih dari sekedar genre hiburan melainkan telah menjadi gaya hidupnya. Namun, dibalik semarak fandom dan cinta pada idola, ada satu sisi gelap yang mulai mencuat yaitu pola konsumsi berlebihan yang sering kali mengabaikan kondisi keuangan pribadi.
Antara Loyalitas dan Kapitalisme Emosional
Industri hiburan Korea Selatan sangat pintar bagaimana membangun dan menciptakan ketertarikan emosional antara idolnya dengan penggemarnya. Mereka merancang sistem promosi yang mendorong fans untuk membeli berkali-kali seperti pre-order eksklusif, fanmeeting, dan sebagainya. Hal inilah yang disebut sebagai kapitalisme emosional yang dimana, emosi atau ingin "dekat" dengan idolanya dijadikan sebagai alat untuk mendorong konsumsi berulang. Fans akan merasa dengan membeli produk adalah bentuk cinta. Secara tidak langsung, ini membentuk kebiasaan konsumtif yang sulit dikendallikan.
Indonesia menjadi Sasaran Empuk
Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menjadi salah satu pangsa pasar utama bagi industry K-Pop. Dengan bantuan teknologi yang berkembang pesat saat ini, konten yang disebarluaskan di platform digital sangat mudah dan cepat. Namun di sisi lain, kondisi ekonomi Sebagian besar remaja belum mapan. Ketimpangan antara gaya hidup yang ditiru dari idola dan realita finansial pribadi menjadi persoalan yang mengkhawatirkan.
Sebenarnya, menjadi penggemar K-Pop bukanlah hal yang salah. Mencintai karya dan idola merupakan hak setiap individu. Sebagian besar fans rela menyisihkan uang jajan, mengambil pekerjaan sampingan, bahkan ada yang melakukan pinjol atau pinjaman online demi memenuhi gaya hidup K-Pop. Oleh sebab itu, pola konsumsi dan hedonisme secara konstan akan sangat beresiko secara finansial serta dapat menimbulkan budaya baru yakni budaya FOMO (Fear of Missing Out). Hal ini mendorong orang untuk terus membeli, meskipun secara keuangan tidak mampu.
Dampak Nyata di Kehidupan Sehari-hari
Berdasarkan beberapa hasil survei informal yang dilakukan Lembaga keuangan digital, ditemukan bahwa sebagian remaja mengorbankan tabungan, uang untuk biaya kuliah, bahkan meminjam uang dari teman atau keluarga hanya demi membeli barang-barang K-Pop dan mengikuti comeback idola favorit. Hal tersebut bukan sekedar soal hobi belaka, namun sudah menyentuh masalah literasi keuangan dan sistem pengendalian diri yang cerdas. Faktor lain yang memperkuat budaya konsumtif ini adalah media sosial. Banyak penggemar merasa perlu membagikan & membeli koleksi album, photocard, lightstick resmi, tiket konser, hingga ornamen-ornamen mahal lainnya demi menunjukkan loyalitas terhadap grup idolanya. Hal ini dapat memunculkan tekanan sosial bagi penggemar lainnya, terutama yang tidak punya cukup uang untuk mengikuti tren.
Pentingnya Literasi Keuangan dan Perencanaan Keuangan
- Membuat anggaran bulanan. Tentukan berapa persen dari uang saki atau gaji yang bisa digunakan untuk hobi.
- Membedakan kebutuhan dan keinginan. Tanyakan pada diri sendiri, apakah benar-benar album baru atau hanya tergoda tren saja?
- Hindari utang untuk hal konsumtif. Jika tidak mampu beli sekarang, lebih baik menabung daripada menggunakan fitur paylater.
- Miliki emergency fund (dana darurat). Jangan habiskan seluruh uang untuk K-Pop. Namun, tetap sisihkan untuk keperluan di masa depan atau keperluan mendadak seperti kesehatan dan Pendidikan.
Menjadi Fans yang Bijak