Mohon tunggu...
Bulan Mei
Bulan Mei Mohon Tunggu... pegawai negeri -

just a mom of two angels

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Mangga Tetangga

18 April 2013   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:00 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Warni memandangi halaman rumahnya dengan kesal. Sepanjang mata memandang, hanya tampak daun yang berserakan. Taman bunganya yang mungil jadi terlihat kotor dan berantakan. Ia tahu asal muasal daun itu, darimana lagi kalau bukan pohon mangga milik rumah di depannya. Warni memang baru satu bulan menghuni rumah ini, tapi kegemarannya berkebun telah membuat rumahnya asri dan rimbun, tak kalah dengan rumah yang ada persis di depannya. Warni memandang rumah bercat kuning itu. Sebenarnya tak banyak tanaman di pekarangan rumah itu. Hanya ada beberapa pot kecil, pohon pace dan sebuah pohon mangga. Warni menduga, pohon mangga itu telah berumur tahunan melihat betapa besarnya dahan dan ranting yang menjulur ke sana kemari. Sebenarnya dengan adanya pohon mangga itu, teras rumah Warni menjadi sejuk dan terhindar dari silau matahari. Tapi, pohon itu tampaknya senang sekali merontokkan daunnya. Sang empunya rumah, tampaknya bukan orang yang senang berkebun dan tampaknya tak punya waktu luang untuk membersihkan halamannya. Hingga daun-daun itu menumpuk berceceran ke sana kemari, termasuk ke halaman rumah Warni yang hanya dipisahkan sebuah jalan kecil.

Awalnya Warni tak hirau dengan tamu tak diundang yang tiap kali terbang terbawa angin singgah di halamannya. Tiap pagi dan sore, sembari menunggu suaminya pulang, Ia rutin membersihkan halamannya, termasuk daun-daun jatuh di atas pot-pot hidroponik. Namun, lama-lama Ia jengkel juga, karena seandainya tak ada pohon mangga itu, pasti akan lebih ringan menbersihkan halamannya. Dan lagi, daun-daun itu jadi memenuhi tong sampah, sehingga tak ada lagi ruang untuk membuang sampah dapurnya.

Ketika suaminya pulang dan duduk santai di teras rumah, Warni menumpahkan segala kekesalannya.

“Ini sudah keterlaluan Mas, badanku pegal kalau tiap hari harus menyapu rontokan daun dari pohon mangga itu……..”

“Sabar to Dek…nanti kalau saatnya panen, kita mungkin dikasih satu karung……..” jawab Harman sambil membuka lembaran Koran ke depan wajahnya.

Warni hanya mendengus kesal, merasa tak mendapat reaksi yang diinginkan. Ia kembali memandangi rumah tetangganya itu. Setahu, Warni tak banyak aktivitas di rumah bernuansa joglo itu. Dulu, waktu ia pertama kali pindah ke rumah ini, Ia sempat menggelar syukuran mengundang tetangga satu RT. Namun, ketika hendak memberikan undangan, sang penghuni rumah tak juga keluar, walaupun Warni sudah mengetuk pintunya berkali-kali. Sorenya, ketika ia hendak mengirimkan makanan, rumah itu masih sepi seperti tak berpenghuni.

Menurut Bu Margo, yang rumahnya di sebelah kanan Rumah Warni, rumah itu hanya dihuni oleh seorang wanita lanjut usia, namanya Mbah Lastri. Ia memang tinggal sendirian, hanya sesekali ada orang datang untuk membersihkan rumah atau mengiriminya bahan makanan. Mbah Lastri sendiri jarang keluar rumah dan bertegur sapa dengan tetangga.

“Kamu maen saja ke Rumah Mbah Lastri, sekalian kenalan. Mungkin saja beliau tidak tahu kalau selama ini daun mangganya sampai ke rumah kita….” Harman mencoba member solusi.

##

Warni mengangkat cetakan bolu kukus dengan hati-hati. Ia sudah bertekad untuk bertandang ke rumah depan. Sebenarnya ia agak ragu apakah si tuan rumah akan menyambutnya dengan baik, tapi sepiring bolu kukus aneka warna yan panas mengepul semoga bisa melumerkan suasana. Warni sudah mulai putus asa, ketika berulang kali mengetuk pintu dan mengucapkan salam, tak jua membuat penghuni rumah keluar. Namun, ketika Ia mulai menyerah dan hendak berbalik, tiba-tiba daun pintu berukir itu bergerak tanpa suara.

Sebuah wajah menyembul disertai senyuman lebar yang hangat. Dan Warni hanya ternganga memandang raut wajah yang ayu meskipun telah berhias keriput dan rambut yang putih. Semua emosinya mendadak lenyap demi melihat sosok yang timpang di balik sebuah tongkat kayu.

“Maaf…Mbah….eee….nama saya Warni, rumah saya itu persis di depan. Maaf kalau saya menggangu, saya Cuma ingin….ingin silaturahmi…” Warni mencoba menguasai dirinya yang tiba-tiba cangguh.

Mbah Lastri kembali tersenyum dan membuka pintu lebih lebar, “Ayo masuk Nduk…..”

Warni melangkah masuk dan langsung takjub dengan interior rumah yang tak biasa. Rasanya seperti memasuki museum yang penuh aneka lukisan dan patung. Warni menduga, Mbah Lastri mungkin seniman atau paling tidak penggemar seni.

Entah siapa yang memulai, tapi Warni langsung akrab dengan Mbah Lastri, yang ternyata senang bercerita. Warni pun lupa tujuan utamanya datang ke rumah ini. Daun pohon mangga itu menjadi topic yang tidak penting dibandingkan cerita Mbah Lastri semasa mudanya. Mbah Lastri mengatakan bahwa rumah ini sudah ia huni puluhan tahun bersama suaminya yang kini telah meninggal. Setelah itu ia tinggal sendirian karena dari pernikahannya Ia tak dikaruniai anak. Tak pelak, Warni merasa iba, melihat sosok yang harus kesepian sendirian pada masa tuanya.

Tiba-tiba, Warni merasakan kesamaan nasib dengan Mbah Lastri. Warni pun tak jua diberi momongan hingga kini, 10 tahun pernikahannya dengan Harman. Ada rasa perih yang menyayat hatinya membayangkan kemungkinan masa tuanya tak jauh beda dengan Mbah Lastri.

##

Kini, Warni kerap berkunjung ke rumah Mbah Lastri.  Ia tak lagi keberatan menyapu tiap helai daun mangga yang masih saja jatuh di halaman rumahnya. Bahkan Ia tak segan menyapu hingga halaman rumah Mbah Lastri. Ia betah mendengarkan Mbah Lastri bercerita sembari tangan lentiknya menyapukan kuas di atas kanvas. Objek favorit lukisannya adalah wajah suaminya sendiri. Baginya itu seperti terapi yang bisa menentramkan hatinya, obat rasa kangennya dan penegasannya bahwa suaminya masih selalu mendampingi hidupnya.

“Mbah ada saran ya Nduk…coba kamu pertimbangkan untuk mengangkat anak sembari menunggu kamu hamil…..” ujarnya sambil menggoreskan kuasnya melengkung membentuk tangan.

“Tapi Mas Harman, inginnya punya anak kandung Mbah…anak yang benar-benar menjadi penerus keturunan kami. Lagian kata dokter sebenarnya kami tak ada masalah, hanya masalah waktu…..” Warni mencoba tenang, menepis pedih yang muncul setiap kali topic tentang anak dibicarakan.

“Tapi Tuhan berkehendak, pasti ada tujuannya Nduk… Mungkin Tuhan ingin kamu menjadi perpanjangan tangannya, melindungi kekasihnya yang kurang beruntung…. Maksud Mbah…begitu banyak anak yang lahir dalam keadaan tidak beruntung. Mungkin Tuhan menundamu hamil, agar kamu mau menjadi bagian orang yang ikut menyayangi mereka…”

Warni hanya membisu.

Mbah Lastri kembali berbicara, “ Aku dulu juga seperti kamu, punya idealisme dan harapan yang tinggi, hingga waktuku habis dan aku hanya menjadi penunggu yang malas. Hanya menunggu tanpa menunjukkan bahwa aku layak diberi anugerah itu oleh Tuhan. Padahal, jika saja aku mau mencari ke berbagai panti asuhan atau lingkungan di sekitarku mungkin aku bisa mendapatkan cinta sejati, walaupun bukan dari anak kandung. Ya..paling tidak sekarang, mungkin ada yang menemani dan mengusir sepi di masa tua ini, sebagai buah dari perbuatan baikku….”

##

Warni menyeka keringat yang tak henti mengalir. Entah mengapa, beberapa hari ini daun mangga rontok lebih banyak, tidak seperti hari biasanya. Seingatnya, kemaren sore Ia sudah menyapu bersih semua rontokan daun itu hingga ke halaman Mbah Lastri. Namun pagi ini, daun yang berserakan begitu banyak seperti tidak pernah dibersihkan selama seminggu. Ia perhatikan, dahan-dahan pohon mangga itu tampak layu, dan daun yang berguguran cenderung berwarna coklat tidak lagi hijau. Benar kata Harman, pohon mangga itu mungkin sedang meranggas, atau mungkin malah mau mati, lapuk dimakan usia.

Sejurus, ia melihat rumah Mbah Lastri, yang sunyi seperti biasa. Warni sedikit enggan berkunjung ke sana setelah perbincangan soal anak angkat tempo hari. Ia pun pernah memikirkan ide itu, tapi Harman dan keluarga besarnya tak ada yang setuju. Kata mereka, buat apa capek-capek ngurusin anak orang, toh kalau besar belum tentu bisa balas budi. Anak sendiri saja banyak yang durhaka, apalagi anak angkat. Itulah kata-kata mereka yang kerap membuat Warni tambah nelangsa meratapi kegagalannya sebagai perempuan.

##

Menjelang magrib, Warni mendengar kegaduhan di depan rumahnya. Belum sempat Ia melongok keluar, Bu Margo sudah masuk ke rumahnya dengan nafas tersengal, “ Mbah Lastri meninggal War….cepet kamu ke rumah Wak Narno agar mengumumkan di mesjid..”

Warni belum sempat mengatasi keterkejutannya, Bu Margo sudah berpaling, berjalan lagi ke Rumah Mbah Lastri. Dari kejauhan, Warni melihat Yu Darmi, pembantu pocokan Mbah Lastri tampak lari ke sana kemari mengabari warga sekitar.

Lutut Warni lemas, air matanya tak henti mengalir. Ia tak menyangka Mbah Lastri akan pergi secepat ini, dan menyesali tindakan bodohnya yang tak lagi mengunjunginya beberapa hari ini.  Ia merasa menjadi tetangga yang buruk, mungkin saja Mbah Lastri sakit kemaren, seandainya saja ia masih rutin berkunjung, tentu ia bisa mendampingi saat terakhir sahabatnya itu.

Warni menguatkan dirinya dan melangkah keluar ke halaman. Dan hatinya semakin tergugu mendapati sang pohon mangga yang kini tak lagi berdaun. Dahannya kering menghadap langit, seolah menyaksikan arwah si empunya terbang melayang bergabung dengan belahan jiwanya. Dan sebuah bayangan tiba-tiba hadir, Warni melihat dirinya yang telah berambut putih, sendirian duduk di bawah pohon mangga yang telah lapuk, tanpa anak, suami dan sanak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun