Mohon tunggu...
Bujaswa Naras
Bujaswa Naras Mohon Tunggu... Penulis - Bergiat dalam aktivitas kajian kebijakan publik dan pemerintahan

Bergegas memperbaiki diri untuk Taman Kehidupan Bangsa Indonesia Berdaulat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Setengah Hati Mengurus Petani Sawit

25 September 2018   09:54 Diperbarui: 25 September 2018   10:09 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. Berharap moratorium perkebunan sawit bisa menjawab konflik-konflik lahan seperti ini. Foto: dokumen Laman Kinipan di www.mogobay.com

Penguasaan lahan untuk bertanam sawit luas mencapai ribuan hektar oleh pengusaha. Sedangkan masyarakat sekitar hanya mendapatkan plasma dengan rata-rata 2 hektar per Kepala Keluarga. 

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan hak atas tanah dalam rangka pelaksanaan hak masyarakat seluas 20 persen dari pelepasan kawasan hutan. Bagian mempercepat pelaksanaan moratorium penanaman kelapa sawit.
Direktur SPKS Mansuetus Darto meminta pemerintah dapat mengatasi berbagai persoalan petani kelapa sawit, antara lain penyelesaian kebun petani dalam kawasan hutan, legalitas lahan, konflik antara petani plasma, dan perusahaan, harga sawit yang anjlok.
"Jika tidak, maka petani akan makin sulit untuk sejahtera dan berkelanjutan," ujarnya, Senin (24/9/2018).

SPKS menilai program peremajaan sawit rakyat (PSR) tersebut terkesan setengah hati, karena penanaman kembali (replanting) tidak dianggap masalah pokok yang dibutuhkan petani.

Penilaian beberapa pihak tentang Sektor perkebunan kelapa sawit, praktik usaha dan pengolahannya sangat buruk. Kasus perampasan tanah, pencemaran lingkungan hidup, dan bahkan upaya kriminalisasi terhadap pihak yang lebih lemah, seperti masyarakat lokal tidak jarang dilakukan oleh para koorporat demi menebalkan kantong mereka. 

Kejadian terbaru masyarakat lokal di 8 desa di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, yaitu desa Tabiora, Minti Makmur, Rio Mukti, Panca Mukti, Mbulava, Bonemarawa, dan Polanto Jaya. Masyarakat di desa-desa tersebut merasa sejumlah tanah mereka dirampas secara paksa oleh perusahaan perkebunan besar. 

"Barau kakao kami ditebang oleh oknum Brimob dan pihak perusahaan. Lahan cokelat habis di tebang, dirampas, diintimidasi, dan dipukul. Kami di sana, petani diperlakukan seperi binatang. Tidak ada artinya. HAM (Hak Asasi Manusia) itu tidak tau ada dimana," lirih Jufri seorang petani dari desa Polanto Jaya di konferensi pers yang diadakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di kantornya di daerah Jakarta Selatan pada Senin (24/9), sumber www. Gatra.com

Setelah Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium sawit, belum ada kejelasan mengenai solusi bagi perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan sampai saat ini.

"Tidak ada kejelasan 20 persen yang dilepaskan dari kawasan hutan untuk subyek petani seperti siapa, di mana, dan berapa luasan petani yang bisa dibebaskan, juga alokasi untuk petani dari HGU (Hak Guna Usaha)," tegasnya.

Pemerintah diminta untuk menetapkan definisi yang jelas tentang petani kelapa sawit agar implementasi legalisasi lahan tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. Penyelesaian konflik antara perusahaan dan petani yang tak pernah dan cendrung dimenangkan oleh pengusaha. Efek ketidakadilan adalah terciptanya konflik berdarah di bebera daerah.
Seorang teman petani sawit di ujung pesisir mengeluhkan harga Tandan Buah Segar (TBS) turun menukik. Sementara pemerintah tak turun tangan dan cendrung membiarkan. Penyebabnya, skema pembelian TBS bagi petani belum ada aturan yang tepat pola kemitraan saling menguntungkan antara petani sawit mandiri dan perusahaan sebagai pembeli.

Sisi lain kebijakan untuk menerapkan Biodisel 20% dan morotorium menguntungkan perusahaan-perusahaan skala besar. Secara modal, kesiapan infrastruktur dan kebijakan amat berpihak kepada korporasi.

Sebab petani yang bergabung dalam Koperasi atau mengelola sendiri lahannya adalah bagian terkecil. Perbandingannya seperti Gajah dengan Kancil. Petani hanya menjadi penyuplai TBS bagi pabrik minyak sawit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun