Mohon tunggu...
Budi SurantaGinting
Budi SurantaGinting Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menjadi dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Demokrasi Nasi Basi

13 Mei 2020   11:20 Diperbarui: 14 Mei 2020   04:54 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ayah apa itu demokrasi"? Tanya seorang lelaki kecil yang baru kelas 5 Sekolah Dasar, dengan seragam lengkap baju putih, celana pendek merah, dasi merah dan topi merah, sepatu hitam, kaos kaki putih khas Sekolah Dasar Negeri di Jakarta. Duduk di sebelah ayahnya yang sedang duduk santai di sofa panjang bekas, yang dibuang dari rumah mewah di bawah pohon besar, menikmati kopi yang terletak di bale reot dan sebatang rokok menempel di tangan depan sebuah kontrakan berjejer tujuh. Sesekali tetangga kontrakan lewat dan menegur, "yuk bang berangkat dulu". "Ok hati-hati ya". Sambil sang ayah berpikir lalu istri memanggil dari dalam rumah, "Ayah itu goreng pisangnya di piring kecil sebelah kompor, ngapain sih bengong gitu entar kesambet lo". Lalu ia tersenyum mendengar ocehan istri sambil mengambil goreng pisang. "Mateng nih mah pisangnya, manis". "Iya, itukan yang ayah bawa semalam dari pasar". "Ya udah mah, aku ke depan lagi ya, si boy mau berangkat sekolah juga belum sarapan, biar aku bawa beberapa buat dia". "Boy, nih goreng pisang nak makan dulu biar kamu kenyang dan bisa belajar dengan baik di sekolah". "Ok, ayah". Jawab Boy. "Tapi pertanyaan aku belum ayah jawab". "Iya, sudah makan dulu". Sambil berpikir Burhan membakar rokok, menghisap dalam dan segera membuang asapnya. Tampak Burhan kewalahan dengan pertanyaan anaknya. Pikiran Burhan jauh menerawang kebelakang saat dimana Boy masih di kandungan Eli, istrinya.

Burhan seorang buruh lepas harian sebagai petugas parkir di sebuah pasar di Jakarta. Burhan tersentak dan melirik jam yang melingkar di tangan kanannya sambil bergumam, "jam 07 kurang 15 menit". Lalu berkata pada Boy, "ayo nak, ayah antar sekolah, pertanyaanmu jadi PR ya, bolehkan"? Di sekolah aja ada PR, masa ayah ngga boleh dapat PR dari kamu"? "Ok, ayah! Tapi janji ya PR nya dijawab". "Siap". Jawab Burhan. "Ayo pamit dulu sama mamah". "Mah, Boy berangkat dulu ya". "Sama siapa"? Terdengar suara Eli dari dalam rumah. "Sama ayah, mah". "Iya, hati-hati. Pulang sekolah langsung ke rumah". "Siap mah".  Jawab Boy, sambil membereskan topinya dan naik keatas sepeda ontel yang telah siap dikayuh Burhan menuju SD Negeri 13. Sekolah Boy tidak jauh dari kontrakan mereka, hanya kira-kira 10 menit bersepeda, mereka sampai. Boy turun dari sepeda dan langsung meraih tangan Burhan untuk diciumnya dan berkata, "thanks yah, jangan lupa PR nya dipikirin hehehe". "Iya, tenang aja". Boy langsung berlari kebalik pagar dan hilang dari pandangan Burhan, menyelinap diantara anak-anak SD yang berhamburan di lapangan. Burhan membalikan arah sepedanya, ia mengayuh pelan. Sesekali sapaan-sapaan menyertainya. Burhan memang cukup dikenal di kampung segrek. Tak lama berselang Burhan sampai di rumah. Eli yang sedang berbenah menyambut di muka rumah. "Boy telat ngga bang"? "Enggalah, orang cuma deket doang sebentar juga nyampe". "Itu bang tas udah Eli siapin, di dalamnya ada makan siang buat abang". "Makasi ya neng". Burhan mencium kening Eli dan Eli meraih tangan Burhan dan menciumnya. "Ya udah, abang berangkat ya".

Burhan mengayuh sepedanya, mengingat pertanyaan anaknya. Ia bepikir apa yang ia jawab? Pasar tempat Burhan biasa memarkir sekitar 30 menit dari rumahnya. Ia bergegas mengayuh sepedanya. Sesampai di pasar disandarkan sepedanya dekat kios koran temannya, "nitip ya tro" "iya bang, kayak sama siapa aja". Seragam parkir diambil dari tasnya dan dikenakan. Burhan menuju lahan parkir pasar. Menyapa rekannya, "cep, jatah gua kan sekarang". "Iya bang, itu mobil putih langganan saya bang, bagi dua yak kalo dia keluar hehe". "Eee ngga boleh gitu dong, gua kasih tapi ngga bagi dua juga kali". "Ok bang Burhan, saya tinggal dulu yak". Cepi bergegas meninggalkan lokasi parkir. Ganti Burhan yang memarkirkan kendaraan di pasar. Tak terasa waktu menunjukkan jam 12.00. Saatnya Burhan digantikan petugas parkir lain, karena jatah parkir di pasar hanya 4 jam. Penggantinya telah datang, Burhan menuju kios koran. Diambil tasnya, dibuka makan siangnya dan makanlah ia. "Tro makan yak udah laper nih gua". "Sikat bang". Setelah makan, sambil duduk santai di bakarnya rokok. "Ada berita apa nih tro"? "Biasa bang berita kampanye" "Oo...gimana-gimana"? "Udahlah baca aja tuh koran, hehe". Koran di baca Burhan hampir satu jam. Diliriknya jam tangan. Ia pamit kepada mitro. "Tro, maksih ya korannya, gua jalan lagi". "Iya bang hati-hati". Burhan memacu sepedanya menuju lokasi parkir di sebuah toko tidak jauh dari pasar. Dia dipercayakan oleh pemilik toko untuk mengelola parkir di tokonya. 

Tidak sampai 10 menit Burhan sampai di Toko Maju Makmur Bersama. "Eh bang Burhan, gimana bang sehat"? disambut oleh Kadir rekan Burhan yang biasa parkir di pagi hari. Mereka bersalaman. "Sehat dir, lu gimana sehat"? "Sehat bang". Lalu kadir bersiap untuk pulang. "Bang, ini tadi pagi Aseng kasih kaos kampanye jagoaanya, hehe". "Oo...tumben". "Iya bang, kita disuruh pilih dia nih", Kadir menunjuk gambar di kaos. "Ngapain amat, kenal juga kagak". "Emang musti kenal bang"? "Iya dong, kalo ngga kenal entar ngga tahunya garong lagi"! "Hahaha bang Burhan bisa aja". "Ok deh bang, saya duluan ya". "Iya dir hati-hati". "Terus-terus kiri dikit balas, ok sip ngga usah direm tangan ya pak". Teriak Burhan. Begitulah keseharian Burhan, mengatur arus kendaraan yang datang dan pergi. Sampai toko Maju Makmur Bersama tutup. Terdengar bunyi suara pintu toko ditarik oleh pegawai. Burhan bersiap untuk pulang. Dihitung pendapatan hari ini, dipisahkannya disaku depan dan belakang tak lupa diselipkan juga di dompet. Tidak seberapa memang penghasilannya, tidak sebesar wakilnya yang ada di MPR/DPR. Namun Burhan cukup bahagia dengan keadaan tersebut. Burhan menarik sepeda yang terpakir sedari tadi, mengayuhnya. Tampaknya Burhan sudah menemukan jawaban dari pertanyaan anaknya tadi pagi. Dengan santai Burhan mengayuh sepedanya melewati jalan yang entah sudah keberapa ribu kali. Semilir angin menerpa tubuhnya, nampak jelas wajah keras Burhan, ketika angin meniup rambutnya yang sedikit gondrong dan berkumis. Sampailah Burhan di rumah, diparkirkan sepeda. Ia membuka pintu rumah mendapati istri dan anaknya yang sedang mengerjakan PR sekolah Boy. 

"Ehh...ayah sudah pulang", sambut Eli dan Boy. "Iya, ayah langsung mandi ya, kotor banget rasanya nih badan". "Ok ayah". Jawab Eli dan Boy Kompak. Boy telah menyelesaikan PR nya, Eli tengah mempersiapkan makan malam. Burhan duduk santai di depan kontrakan, sesekali dihisap rokoknya dalam dan membuang asapnya. Tiba-tiba suara Boy mengejutkannya. "Ayah, udah dapat jawaban belum PR nya"? "Oh...sini duduk nak". Boy duduk disebelah Burhan. "Kamu sudah selesai Boy, mengerjakan PR sekolahmu"? "Sudah yah". "Ok sekarang ayah ya jawab PR dari kamu". "Jujur, pertanyaan kamu sulit nak, tidak bisa dijawab dengan satu kata atau beberapa kalimat saja". "Sulitnya lagi, kamu baru kelas lima SD". "Jadi Ayah harus mencari jawaban supaya seorang anak kelas 5 SD bisa memahami apa itu demokrasi". "Yah, paling tidak ayah bisa menjawab pertanyaanmu". "Sehingga kamu tidak terus bertanya dan mencari jawaban pada orang lain". Argumen Burhan sebelum menjawab pertanyaan Boy. "Ok ayah, Boy siap dengar lagipula besok aku libur sampai begadang juga ngga apa-apa yang penting tuntas hari ini hehehe". "Begini Boy, ayah jawabnya dengan cerita ya". "Waktu mamah mengandungmu, saat usia kandungan mamah memasuki sembilan bulan, artinya kamu sudah tidak lama lagi akan lahir dan kami orang tua mu perlu menyiapkan dana untuk kelahiran mu". "Apalagi ayah sebagai seorang kepala keluarga dan satu-satunya orang pencari nafkah di keluarga kita". "Kamu tahukan pekerjaan ayah"? "Tahu ayah". "Saat itu setelah ayah selesai parkir di pasar, seperti biasa ayah melanjutkan parkir di toko Aseng". "Ayah parkir di toko Aseng bukan karena ayah jagoan, tapi karena Aseng percaya dan sering melihat ayah parkir di pasar". "Jadi dia mempercayakan tokonya untuk ayah parkirin". "Tiba-tiba sore itu ada lima orang laki-laki dewasa mendatangi ayah". "Mereka meminta ayah menyerahkan parkiran tersebut untuk mereka". "Lalu ayah mencoba mengajak ngobrol di belakang warung kecil dekat toko". "Ayah menyediakan kopi dan rokok buat mereka". "Setelah ngobrol panjang lebar, tetap mereka pada intinya, ayah harus menyerahkan lahan parkir tersebut". "Ayah tidak mau karena itu hak ayah dan ayah teringat kamu yang masih dalam kandungan memerlukan biaya persalinan". "Cara baik-baik ayah tidak mereka terima". "Akhirnya mereka panas dan mencoba melawan ayah dengan kekerasan". "Ayah sudah siap, ayah hadapi mereka satu persatu, dan tak disangka orang yang mengenal ayah disana ikut membantu ayah rupanya diperhatikan dari tadi". "Akhirnya orang-orang yang mengeroyok ayah kabur dan tidak pernah kembali lagi". 

"Jadi demokrasi itu menurut ayah, antara hak dan pilihan nak". "Seperti cerita ayah, ayah mempertahankan hak ayah karena memilih untuk bisa membiayai persalinan kamu dibanding kita makan "nasi basi". Lalu dari dalam rumah terdengar Eli berteriak, "bang makan malam sudah siap nih, ajak Boy sekalian biar kita makan bareng-bareng". Eli menggelar tikar dan menghidangkan makan malam. Merekapun makan malam bersama, sambil makan, Boy tampak masih merenungkan cerita ayahnya. Burhan dan Eli asyik mengunyah makanannya, yang sudah pasti bukan "nasi basi".

TAMAT.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun