Bayangkan sekelompok kepiting dalam ember. Setiap kali satu kepiting hampir berhasil keluar, yang lain menariknya kembali ke bawah. Aneh? Tidak, karena kadang manusia pun tak jauh berbeda. Itulah yang disebut crab mentality. crab mentality atau "mentalitas kepiting" semakin sering muncul dalam percakapan publik. Istilah ini berakar dari perilaku kepiting yang, ketika dimasukkan ke dalam ember, saling menarik satu sama lain saat salah satunya berusaha keluar. Tidak ada yang berhasil naik, sebab setiap individu lebih sibuk menghalangi yang lain daripada berjuang bersama menuju kebebasan.
Istilah crab mentality atau "mentalitas kepiting" semakin sering muncul dalam percakapan publik. Istilah ini berakar dari perilaku kepiting yang, ketika dimasukkan ke dalam ember, saling menarik satu sama lain saat salah satunya berusaha keluar. Tidak ada yang berhasil naik, sebab setiap individu lebih sibuk menghalangi yang lain daripada berjuang bersama menuju kebebasan.
Fenomena sederhana itu kemudian digunakan untuk menggambarkan perilaku manusia yang sulit melihat orang lain berhasil tanpa merasa iri, tersaingi, atau terdorong untuk menjatuhkan. Namun, muncul pertanyaan yang lebih dalam: benarkah crab mentality adalah realita sosial yang mengakar dalam masyarakat kita, atau justru sekadar ilusi masa---sebuah persepsi yang kita ciptakan untuk menutupi kegagalan beradaptasi dengan perubahan dan persaingan modern?
Antara Fakta Sosial dan Persepsi Emosional
Dalam kehidupan sehari-hari, crab mentality tampak begitu nyata. Di lingkungan kerja, ketika seseorang dipromosikan, tak jarang muncul komentar sinis: "Ah, pasti karena dekat dengan atasan," atau "dia bukan lebih pintar, hanya lebih pandai cari muka." Di dunia akademik, keberhasilan mahasiswa sering dicurigai sebagai hasil koneksi, bukan kompetensi.
Media sosial memperparah keadaan. Ruang digital yang seharusnya menjadi wadah berbagi inspirasi justru berubah menjadi arena kompetisi ego. Setiap pencapaian direspons dengan cemooh, setiap unggahan prestasi dianggap ajang pamer. Kita seolah lupa bahwa keberhasilan orang lain tidak otomatis mengancam eksistensi kita sendiri.
Namun, di sisi lain, ada pula dimensi emosional dari istilah ini. Tak jarang, seseorang yang dikritik langsung menuduh pihak lain memiliki crab mentality. Kritik yang sejatinya konstruktif dianggap bentuk kecemburuan. Dengan kata lain, istilah ini kadang dijadikan tameng untuk menolak introspeksi. Di titik inilah crab mentality bisa menjadi ilusi masa, bukan realita sosial.
Akar Psikologis dan Budaya
Secara psikologis, crab mentality lahir dari dua akar utama: rasa tidak aman (insecurity) dan kebutuhan untuk diakui (need for validation). Individu yang merasa kurang percaya diri cenderung mengukur dirinya dengan orang lain. Ketika melihat keberhasilan orang lain, yang muncul bukan inspirasi, melainkan rasa terancam. Dalam kondisi itu, menjatuhkan orang lain terasa lebih mudah daripada memperbaiki diri sendiri.
Secara budaya, masyarakat Indonesia yang komunal dan menjunjung kesetaraan sering kali menafsirkan nilai harmoni secara keliru. Pepatah "jangan menonjol sendiri" yang sejatinya bertujuan menjaga keharmonisan sosial, justru menjadi penghambat inovasi. Akibatnya, orang yang tampil menonjol sering dianggap sombong, dan yang berprestasi dilabeli "cari muka."
Sosiolog menyebut fenomena ini sebagai collective leveling syndrome---sindrom penyeragaman sosial di mana setiap individu diharapkan berada pada tingkat yang sama demi kenyamanan kelompok. Padahal, masyarakat maju justru lahir dari keberanian individu untuk melampaui batas.