Dan entah kenapa, setiap kali kereta melaju meninggalkan stasiun, ada semacam renungan yang timbul: "Inilah Jepang --- bangsa yang bangkit dari reruntuhan." Tahun 1945, dua kota besarnya, Hiroshima dan Nagasaki, luluh lantak oleh bom atom. Dunia mengira Jepang akan tamat. Tapi lihatlah kini: dari reruntuhan itu mereka bangkit, menata ulang peradaban, dan menjelma menjadi raksasa teknologi dunia --- dari otomotif, elektronika, hingga riset pangan dan pertanian.
Saya pun merenung, bagaimana bangsa yang pernah hancur total bisa sedisiplin itu? Jawabannya mungkin karena mereka tidak pernah berhenti belajar, bahkan dari hal yang tampak sederhana: naik kereta dengan tertib. Mereka belajar menghargai waktu, menghargai sistem, dan menghargai orang lain. Nilai-nilai itu kemudian meresap ke semua aspek kehidupan --- di kantor, di sekolah, di jalan, bahkan dalam budaya mereka sehari-hari.
Ketika masa dua minggu itu berakhir dan saya kembali ke Indonesia, ada semacam rasa kehilangan. Tapi juga ada bekal berharga yang saya bawa pulang --- bukan oleh-oleh, melainkan pelajaran hidup dari negeri matahari terbit. Bahwa keteraturan tidak lahir dari peraturan semata, tapi dari kesadaran bersama. Bahwa kemajuan bangsa tidak dibangun dari gedung tinggi dan mesin canggih, tapi dari perilaku disiplin dan rasa tanggung jawab individu terhadap waktu dan sesama.
Dari perjalanan sederhana menjenguk anak, saya justru mendapat pelajaran besar: naik kereta bukan hanya soal berpindah tempat, tapi juga soal berpindah kesadaran --- dari kebiasaan santai menuju ketepatan, dari individualitas menuju harmoni sosial. Dan mungkin, jika kita mau belajar sedikit saja dari cara Jepang "berjalan di rel", bukan tidak mungkin kita pun akan sampai lebih cepat ke tujuan kemajuan bangsa. (BM)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI