__________________
Okay, udah kelar bacanya? Storytelling di atas pernah saya tampilkan dalam sebuah workshop. Setelah semua membaca, saya bertanya pada peserta, "Menurut kalian ini iklan atau bukan?"
Sejenak suara lebah berdengung. Semua orang berdiskusi satu sama lain. Setelah menunggu beberapa menit ternyata suara terbelah. Sebagian mengatakan itu iklan dan yang lain sebaliknya. Ketika saya tanyakan, masing-masing menjawab dengan argumentasi yang sangat masuk akal.
"Menurut saya itu iklan. Karena jelas-jelas penulisnya mau mengatakan bahwa puyunghay di resto itu enak banget," kata kubu sebelah kiri.
"Saya yakin itu bukan iklan. Mana mungkin owner resto itu mengizinkan brandnya dimaki-maki pake kata 'sialan'. Mustahil ada pemilik resto mau-maunya mengumumkan bahwa pelayanannya jelek," Kubu sebelah kanan berargumentasi.
"Okay," kata saya, "Kalo ini iklan, memang dibutuhkan kerelaan dari brand owner untuk dijelek-jelekin. Celaan tersebut fungsinya untuk meyakinkan pembaca bahwa itu adalah komentar konsumen beneran. Bukan rekayasa."
Hadirin terdiam.
"Jadi harus ada komprominya dulu antara storyteller dan brand owner, sampai seberapa jauh celaan masih bisa diterima." Saya melanjutkan.
"Kalo itu bukan iklan?" tanya seseorang gak sabar.
"Kalo ini bukan iklan, brand owner sangat diuntungkan karena dapet compliment yang luar biasa untuk puyunghaynya," jawab saya.
"Tapi kan tulisan itu juga ngejelek-jelekin. Gimana cara brand owner menyikapinya?" tanya yang lain lagi.