Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tokoh Idola Saya adalah Ayah Saya

11 Juni 2014   01:13 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:20 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalo ada yang tanya, “Siapa orang yang paling nasionalis di negeri ini?” Tanpa ragu saya akan menyebut, Abdul Hakim,ayah saya. Kenapa? Karena memang begitulah kenyataannya. Dia seorang nasionalis sejati. Dia memperoleh kehormatan dari Pemerintah Indonesia sebagai Perintis Kemerdekaan. Buku-buku yang ditulisnya semua tentang Indonesia. Dan kalo ngomong, selalu yang dibicarakannya adalah bagaimana supaya negeri ini mampu sejajar dengan negara-negara lain.

Ayah saya suka main gitar. Ga jago sih. Chord yag dia tau cuma 3 jurus doang, yaitu kunci C, F dan G. Tapi segitu pun buat dia udah lebih dari cukup karena dia cuma ingin bisa menyanyi lagu Indonesia Raya sambil main gitar. Percaya ga? Sejak saya lahir sampai ayah saya meninggal, saya ga pernah denger dia main gitar dan nyanyi lagu lain. Lagu yang dia nyanyikan selalu lagu Indonesia Raya. Hebat ya?

“Nyanyi lagu kok itu-itu melulu? Lagu yang lain dong, Yah?” tanya saya ketika dia selesai menyanyikan lagu favoritnya.

“Ayah nggak suka musik. Satu-satunya lagu yang Ayah suka cuma Indonesia Raya ini.” sahut Ayah.

“Kenapa gitu Yah?”

“Siapa lagi yang harus menghormati lagu kebangsaan kita kecuali kita sendiri? Kita harus bangga dengan apa yang kita miliki.”

“Emang kita memilki apa Yah? Perasaan negara kita miskin banget.” tukas saya lagi.

“Indonesiaadalah negara besar, kalo kita mengelolanya dengan baik, kita nggak butuh bantuan dari negara lain. Kita adalah negara yang berdaulat, jadi kita nggak perlu takut sama negara manapun.”

Saya selalu kagum kalo ngeliat Ayah saya lagi bicara begitu, suaranya menggebu-gebu menyatakan kebanggaannya pada negeri ini.

“Contohlah Bung Karno. Dia mengatakan ‘Inggris kita linggis, Amerika kita setrika’.” lanjut Ayah lagi.

Saya terdiam dan mendengarkan dengan hikmad.

“Padahal Amerika dan Inggris adalah negara yang paling ditakuti di dunia. Tapi Bung Karno nggak gentar. Dia justru mengajarkan pada kita untuk menjadi bangsa yang berkarakter.”

Saya masih juga terdiam.

“Segala hal yang berbau barat, dia tolak. Karena Bung Karno yakin bahwa kita mampu berkompetisi dengan negara manapun.”

Masih panjang lagi pidato Ayah tentang kebanggaan pada negeri sendiri. Dia bisa ngoceh berjam-jam kalo udah ngomongin soal nasionalisme, dan saya pun nggak pernah bosan ngedengernya. Dari sekian banyak omongan Ayah yang paling nempel di otak adalah, hakikat sebuah negara yang berdaulat adalah berkompetisi dengan negara-negara lain. Jadi semangat kompetisinya itu yang paling diperlukan.

Ayah saya udah almarhum sejak bertahun-tahun yang lampau. Cita-citanya yang begitu mulia sedikit banyak tertanam di jiwa saya. Apakah semangat berkompetisi dengan negara lain sudah tercapai?Sekarang mari kita lihat apa yang terjadi di negeri ini?

Waduh! Rupanya harapan Bung Karno dan Ayah sama sekali nggak terkabul. Semangat berkompetisi bangsa kita dengan negara-negara lain sama sekali tidak terlihat. Bahkan sepertinya negara-negara barat telah berhasil mencuci otak rakyat Indonesia untuk berorientasi ke barat, dan cenderung melupakan akar negerinya sendiri. Ga percaya? Yuk kita bahas satu persatu.

Misalnya soal makanan. Sekarang ini kalo kalian makan makanan lokal, kita suka diejek sama temen-temen. Saya setiap hari bawa makanan dari rumah. Setiap kali saya membuka termos makanan, selalu aja ada yang komentar, “Wah lokal melulu makanannya?” Entah kenapa orang lebih bangga makan pizza daripada martabak. Lebih suka spaghetty daripada mie goreng. Lebih suka steak daripada rendang. Orang merasa lebih gaya pergi ke restoran Jepang atau Italy daripada restoran lokal.

Setiap kali ada obral barang bermerk, kantor langsung kosong. Jam makan siang pulangnya telat gara-gara antri ke outlet Zara, Nike, Mango, Esprit, Guess dll. Pernah saya ngeliat antrian sepatu merk Crocks buatan Tiongkok di Senayan City. Ya ampun! Tokonya ada di lantai 8, tapi antriannya membludak sampai ke tingkat 1. Padahal sepatu Cibaduyut ga kalah bagus loh. Kalo ga percaya, tanya aja tuh sama calon preseiden kita Jusuf Kalla.

Di negeri ini, kita udah jarang menemukan nama Bondan, Wulan, Nurul dan lain-lain. Nama anak jaman sekarang rata-rata berbau barat. Ada yang namanya Patrick, ada yang namanya Nadine, Rebecca, Kent, Patricia, Nicole dan masih banyak lagi.

Soal bahasa. Kayaknya kita udah ga bangga lagi dengan bahasa sendiri. Semua orang ngomong bahasa inggris. Bahkan yang ga bisa bahasa inggris pun ngomong bahasa gado-gado alias ngomong bahasa Indonesia dicampur-campur dengan bahasa inggris. Pernah di sebuah restoran saya mengalami peristiwa yang kocak sekaligus miris. Ceritanya, saya mau ngerokok tapi di meja ga ada asbak. Lalu saya pun memanggil waiter.

“Mas, pinjem asbak dong.” kata saya.

“Kenapa Pak?” tanya Si Waiter.

“Pinjem asbak!” Waduh budek kali nih orang.

“Sorry Pak, pinjem apa tadi?” kata waiter sambil mendekatkan telinganya ke saya.

“ASBAK!! ASBAAAK!!!” teriak saya kesel.

Si waiter tersenyum mengerti, lalu berkata, “Oh...ashtray.”

Ashtray ndasmu! Udah bagus kita punya nama asbak kok jadi ashtray.

Pejabat-pejabat yang jadi narasumber di TV juga ga mau kalah, mereka berebut memperlakukan dirinya sendiri dengan ngomong pake bahasa amburadul. Contohnya adalah sebagai berikut.

“Perekonomian kita sudah jauh membetter. Tapi apa yang sudah diachieve, akan sulit sustain kalo tidak difollowup-I dengan empowerment program pada human resources secara continuously” PRET!

Lain pejabat, lain pula anak kecil. Dewasa ini, anak-anak kecil berbicara bahasa inggris ke sesama temannya. Bagus sih sebenernya asal jangan melupakan bahasa sendiri. Soalnya ada sebuah keluarga Indonesia yang mengunakan bahasa pertamanya adalah bahasa Inggris. Padahal mereka orang Indonesia asli dan tinggalnya juga di negeri ini loh. Ck...ck...ck...

Dalam berpenampilan pun kita cenderung terbius dengan budaya barat. Berapa ribu kali kita ngeliat melayu berambut pirang ala bule? Berapa kali kita ngeliat perempuan melayu pake contact lens biar matanya keliatan biru? Konsep tentang keren bukan lagi konsep yang ada di negeri sendiri tapi memakai ukuran konsep orang lain. Seolah kita nggak percaya bahwa Tuhan udah ngasih yang terbaik buat masing-masing ras.

Yang paling nyebelin adalah konsep ganteng dan cantik. Konsep ganteng dan cantik di negeri kita ikut tergerus dengan jajahan budaya barat. Buat orang Indonesia, perempuan cantik itu seperti Sandra Bullock atau Nocole Kidman. Sedangkan cowo ganteng adalah yang seperti Brad Pitt atau Tom Justin Bieber. Gila kan? Kasian orang-orang di Indonesia yang memiliki ketampanan melayu. Mereka ga direken lagi sekarang. Misalnya saya. Saya ini sebenernya lumayan ganteng loh untuk konsep timur (Hehehe.. GR dikit gapapa ya?). Tapi gara-gara budaya barat, saya udah ga dianggap ganteng lagi. Soalnya rambut saya item, kulit saya coklat dan idung saya ga mancung seperti Brad Pitt.

Tidak semua negara-negara timur bermental pengekor. Jepang, lalu Cina dan belakangan Korea memutuskan untuk jadi pelopor perubahan. Setelah dunia barat, maka ketiga Negara ini ikut menjajah negara lain, termasuk kita. Sampe saat ini kita cuma jadi penonton aja dan jadi pengekor negara-negara pelopor. Buat masyarakat kita, menjadi hebat adalah dengan mengikuti apa yang ada di luar. Buat masyarakat kita, menaikkan gengsi itu adalah dengan menjadi pengekor dan menjadi konsumen bukan menjadi produsen.

“Lo jangan anggep enteng masyarakat kita Bud. Masih ada kok hal yang bisa dibanggakan dari negeri ini.” kata seorang temen ketika saya curhat padanya.

“Apa misalnya?” tanya saya langsung berharap.

“Lo tau ga? Negara kita adalah pemakai Facebook nomor 2 di dunia setelah Amerika.”

Saya diem aja.

“Indonesia adalah pengguna Twitter terbesar ketiga setelah Amerika dan Jepang. Membanggakan kan?”

Saya masih ga menjawab dan cuma tersenyum aja kepadanya. Dalam hati saya membantah, ‘Sebagai pengguna Facebook dan Twitter berarti kita juga konsumen. Bukan Produsen. Lalu apa yang perlu dibanggakan? Kalo Facebook dan Twitter itu punya kita, nah... baru kita boleh bangga.’

Gara-gara terlalu sering mikirin negara berdaulat, negara yang berkarakter, negara yang mampu berkompetisi dengan negara lain, saya jadi sering galau. Entah kapan kita bisa menjadi bangsa yang punya kepribadian. Entah kapan kita bisa menjadi bangsa yang mampu menjadi pelopor dan bukan pengekor. Entah kapan muncul seorang tokoh pemimpin yang mampu mengedepankan masalah ini menjadi issue penting.

Malam sudah larut. Saya sedang berusaha untuk tidur. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saya kangen banget sama Ayah. Saya coba memejamkan mata. Ketika kantuk mulai datang,sayup-sayup terdengar suara gitar dan suara Ayah sedang bernyanyi;

Indonesia tanah airku

Tanah tumpah darahku

Di sanalah aku berdiri

Jadi pandu ibuku....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun