Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bunga Kredit Bergeming, Apa Peran (Bank) Pemerintah?

19 Februari 2012   15:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:27 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BI sudah berteriak lantang. Para pengusaha di sektor rill pun sudah bersuara cukup pedas. Semuanya tentang bunga kredit yang tidak turun-turun juga. BI memang cuma bisa menghimbau saja. Tidak bisa main perintah atau intervensi terlalu jauh di era pasar bebas saat ini. BI hanya menyodorkan fakta dan data bahwa perbankan Indonesia dinilai kurang efisien dibanding negara-negara ASEAN. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab bunga kredit tinggi. Pertanyaannya: Bagaimana sikap pemerintah yang punya empat bank besar?

[caption id="attachment_162004" align="alignnone" width="639" caption="Mengharap bunga kredit turun, BI mengandalkan pemerintah yang punya 4 bank besar"][/caption]

Para pengusaha pun hanya bisa mengiba, kalau tidak bisa disebut mengemis dan minta keikhlasan perbankan untuk menurunkan bunga kredit. Bagaimana tidak teriak, para pengusaha harus membayar cicilan bunga belasan persen. Padahal berbisnis pada kondisi sekarang tidaklah mudah untuk mengejar keuntungan. Bisa jadi, dengan bunga kredit yang relatif tinggi, keuntungan usaha hanya digerogoti oleh bunga kredit saja. Pengusaha cuma bermandi keringat, atau malah menjual barang dan jasanya menjadi lebih tinggi lagi, dengan harapan tidak merugi lebih banyak. Selalu ada efek domino dari bunga bank, yang ujung-ujungnya pengusaha Indonesia tidak kompetitif karena bisa berimbas pada kenaikan harga barang dan jasa demi mengejar laba.

Sebagai ilustrasi, andaikan seorang pengusaha mengambil kredit modal kerja sebesar 100 Juta untuk jangka waktu setahun saja. Saat ini bunga rata-rata untuk kredit tersebut sebesar 12 persen. Rp 12 Juta harus dialokasikan untuk membayar bunga pinjaman, itupun kalau memang berhasil usahanya atau memperoleh keuntungan. Padahal keuntungan usaha harus juga dikurangi juga dengan pajak. Belum lagi soal inflasi yang bisa menggerogoti nilai riil dari keuntungan tersebut. Singkatnya, jika pengusaha bisa menghasilkan keuntungan kotor sebesar 30 persen maka keuntungan tersebut sudah habis buat bunga pinjaman, pajak penghasilan badan usaha, atau menutup inflasi saja.

Para bankir seolah bergeming, membisu, atau tidak mau mendengar harapan banyak orang. Pada Desember 2011 bunga rata-rata kredit tercatat sebesar 11,98 persen untuk kredit modal kerja, 11,69 untuk kredit investasi, dan 13,38% untuk kredit konsumtif. Padahal bunga simpanan bank jauh lebih rendah, yakni 2,03% untuk giro, 2,27% untuk tabungan, dan 6,40 sampai 7,27% untuk deposito. Perbedaan bunga simpanan dengan bunga pinjaman- disebut interest spread atau interest margin- menjadi lahan bank mengeruk keuntungan dari ”dagang uang”, semakin tinggi marginnya, semakin besar potensi labanya. Pergerakan bunga kredit sepanjang tahun 2011 pun ”stabil”, maksudnya tidak turun signifikan, seperti dapat dilihat di Statistik Perbankan Indonesia dari BI.

[caption id="attachment_161957" align="aligncenter" width="638" caption="Pergerakan bunga kredit bank umum sepanjang tahun 2011 (Sumber data: Statistik Perbankan Indonesia Edisi Desember 2011)"]

13295531331791440272
13295531331791440272
[/caption]

Lalu, siapa yang harus berinisiatif untuk menurunkan bunga kredit? Menurut saya, salah satu kunci utamanya ada di tangan pemerintah sebagai pemegang saham pengendali dari empat bank persero! Empat bank pelat merah mempunyai total aset sebanyak Rp1.328,2 Triliun, atau 36.36 % dari total aset perbankan yang sudah menembus Rp3652,8 Triliun. Mereka pun menguasai dana pihak ketiga – atau simpanan masyarakat - sebanyak Rp1039,3 Triliun, atau 37,32% dari total perbankan nasional sebesar Rp 2784,9 Triliun, serta menyalurkan kredit sebesar Rp776,8 Triliun, atau 35,31% dari dari total nasional sebesar Rp2200.1 Triliun.

Angka atau fakta tersebut merupakan porsi (atau prestasi?) yang signifikan dari empat bank persero di antara 120 bank yang ada di Indonesia. Bahkan, empat bank pemerintah tersebut menduduki sepuluh besar di Indonesia. Berikut urutan bank pemerintah dilihat dari total asetnya:

[Peringkat   1] PT Bank Mandiri       Rp 493,1 Triliun [Peringkat   2] PT BRI                      Rp 456,4 Triliun [Peringkat   4] PT BNI                      Rp 289,5 Triliun [Peringkat 10] PT BTN                     Rp   89,3 Triliun

Apa artinya?

Bank pemerintah adalah market leader, yang dengan posisinya dalam struktur pasar tersebut seharusnya bisa ”mendikte” pasar dalam menurunkan bunga kredit, bukan sebaliknya, memimpin pasar dengan menetapkan bunga kredit tinggi. Bank persero telah menjadi ”gudang uang” raksasa. Namun, jangan sampai warga di sekitar gudang malah masih sengsara karena tidak bisa menikmati keberadaan gudang milik pemerintah. Jika pemerintah mau – dan ini logis sebagai pemegang saham pengendali – maka pemerintah mempunyai pengaruh besar untuk menurunkan bunga kredit melalui  bank pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun