Pertemanan seharusnya menjadi ruang saling mendukung, berbagi, dan tumbuh bersama. Namun, dalam kenyataannya, tidak sedikit yang menjadikan pertemanan sebagai alat untuk kepentingan pribadi, bukan sebagai hubungan yang dilandasi ketulusan. Ironisnya, fenomena ini kerap terjadi di kalangan mereka yang memahami ajaran agamanya, yang seharusnya mengajarkan tentang keikhlasan, kejujuran, dan persaudaraan.
Kebaikan yang diberikan dalam pertemanan sering kali dipahami sebagai kesempatan untuk dimanfaatkan, bukan sebagai ketulusan yang patut dibalas dengan penghargaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersedia membantu justru menjadi tempat bergantung tanpa timbal balik, seolah kebaikannya adalah kewajiban, bukan bentuk ketulusan yang perlu dijaga keseimbangannya. Ada pula yang berteman hanya karena ada keuntungan material atau akses tertentu, bukan karena nilai hubungan itu sendiri.
Padahal, dalam berbagai ajaran agama, pertemanan memiliki nilai luhur. Dalam Islam, misalnya, persaudaraan sejati bukanlah yang hanya ada dalam kelimpahan, tetapi juga dalam kesulitan. Begitu juga dalam ajaran lain yang menekankan tentang kesetiaan dan saling menjaga. Namun, saat seseorang memahami ajaran agamanya tetapi tetap menempatkan kepentingan pribadi di atas nilai-nilai moral, ini bukan sekadar kekhilafan, melainkan bentuk pengabaian yang disengaja.
Persoalan ini bukan sekadar masalah individu, tetapi juga cerminan kemerosotan nilai di masyarakat. Kita sering mengeluhkan bahwa zaman ini semakin individualistis, tetapi ironisnya, kita sendiri sering menjadi bagian dari sikap tersebut. Kita ingin dihargai, tetapi enggan menghargai. Kita ingin dimengerti, tetapi enggan memahami.
Lalu, bagaimana menghadapi fenomena ini?
Pertama, kita perlu menegaskan batas dalam pertemanan. Ketulusan tidak berarti harus selalu mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain. Jika kita merasa dimanfaatkan, kita berhak untuk menarik diri dan memilih pertemanan yang lebih sehat.
Kedua, kita perlu menanamkan kembali nilai keikhlasan yang berimbang. Pertemanan bukan transaksi, tetapi juga bukan hubungan satu arah yang hanya berpihak pada salah satu pihak.
Ketiga, bagi mereka yang memahami ajaran agamanya tetapi mengabaikan nilai-nilainya, perlu ada refleksi mendalam. Pemahaman tanpa pengamalan hanya menjadikan ajaran itu sebagai wacana kosong yang kehilangan makna.
Ketika pertemanan kehilangan ketulusan dan hanya menjadi alat untuk kepentingan, maka lambat laun ia akan hancur dengan sendirinya. Tidak ada hubungan yang bisa bertahan lama jika didasarkan pada eksploitasi dan kepentingan sepihak. Oleh karena itu, sudah saatnya kita merefleksikan kembali bagaimana kita memperlakukan teman, agar nilai persahabatan tetap terjaga dalam kejujuran dan ketulusan yang sesungguhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI