KEBINGUNGANÂ dan was-was menghadapi aturan royalti, sejumlah kafe dan restoran memilih tidak menyetel musik lokal. Memutar musik instrumental atau suara alam.
Suasana di sebagian kafe menjadi terasa sepi. Pihak kafe mengkhawatirkan penurunan jumlah pelanggan, akibat tiadanya musik hits yang disukai.
Kenapa kafe perlu memutar musik? Sedemikian besarkah peran musik di kafe dalam penjualan? Bagaimana posisi pentingnya?
Dalam artikel ini saya tidak mengupas sisi teoritis, tetapi pengalaman mengelola sebuah kafe di Jakarta Selatan dari 1999 hingga 2005.
Kafe tersebut merupakan semi fine-dining restaurant dengan bar dan live music. Faktor-faktor di bawah ini membuat ia disukai pengunjung:
- Letak stategis.
- Bangunan, eksterior dan interior.
- Makanan minuman berkualitas yang sebanding dengan harga.
- Pelayanan menyenangkan
- Suasana (ambience) yang cozy (bikin betah) dan homy (akrab, serasa di rumah), yang terbentuk dari rasa enak dan nyaman, atmosfer, serta musik.
Bisnis kuliner yang terletak di Kebayoran Baru itu beroperasi Senin-Sabtu, dari pukul 10.00 pagi hingga 01.00 dini hari. Pada akhir pekan ditambah satu jam, meski seringkali melar sampai pukul 03.00 WIB.
Restoran menyediakan makanan minuman berkualitas, yang diolah menurut gaya western, oriental, dan Indonesian. Tak sedikit pengunjung kembali berkat makanan minuman.
Tentu saja, layanan prima kepada pengunjung sangat diutamakan agar membuat mereka merasa nyaman dan dihargai.
Kafe menempati bangunan dua lantai bergaya Bali. Atap dari alang-alang khusus didatangkan dari Pulau Dewata. Di dalam terdapat beberapa bale-bale kayu, atau tempat untuk lesehan dengan pemandangan ke luar.
Bar terletak di tengah ruangan, yang kemudian dipindah ke pinggir. Meja bar terbuat dari marmer dengan lampu di dalamnya. Eksotis!