BERADA di Rangkasbitung tidak sekedar menikmati nasi daging gepuk di Warung Ka Oyo. Memang pergi ke luar kota hanya untuk makan siang?
Tidak. Berhubung baru pertama kali berkunjung, saya melihat-lihat bangunan bersejarah dan sepintas merasakan dinamika di pusat pemerintahan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten itu.Â
Usai membayar makanan, berjalan ke depan melihat angkot warna merah rute 04 ngetem di jalan Sunan Kalijaga. Setelah tanya-tanya ke sopirnya, saya menumpang. Duduk di belakang seraya menikmati keadaan dari balik kaca angkot.
Dalam pandangan saya, lalu-lintas Rangkasbitung tampak tidak ruwet. Jalan dilewati tidak disesaki mobil, motor, angkot, dan pengguna lainnya. Tak terdengar suara tat-tet-tot, knalpot brong, pun makian.
Sesekali terlihat kendaraan MPV (Multipurpose Vehicle) dan SUV (Sport Utility Vehicle) kelas premium melintas kalem. Bahkan, sedan Porsche merah yang juga bernomor polisi "A" meluncur mulus tanpa banyak ulah.
Kota kecil (luas 74,22 kilometer persegi) terasa lengang. Tenang. Berbeda keadaan dibanding Kota Bogor (luas 118,5 km2), yang sebagian ruas jalannya dipadati kendaraan. Bahkan, makin sesak pada akhir pekan.
Angkot berhenti di jalan sekitar alun-alun, di depan pintu masuk Museum Multatuli. Dari sisi kiri depan museum, atau Jalan Alun-alun Selatan, terlihat bangunan kantor Bupati Lebak. Sementara di seberang tampak jelas menara Masjid Agung Al A'raaf.
Pertama memasuki halaman museum, mata menatap bangunan pendopo. Di baliknya terdapat museum. Belum bisa memasukinya, pukul 12.00-13.00 WIB merupakan waktu istirahat.
Water Leiding Toren te Rangkas Betoeng