Pria berusia matang itu kehilangan selera. Ia tidak mampu mengingat dan merasakan apa-apa, apakah seleranya terjatuh atau dicopet. Ia benar-benar kehilangan rasa dan selera.
Bukan tertular virus korona, karena gejala-gejala yang menyertai ketika seseorang diduga terjangkit Covid-19, seperti suhu badan tinggi, sesak nafas, dan perubahan fisiologis lain, tidak muncul.
Pun tiada hal-hal dapat menggugahnya agar bergairah menyantap hidangan luar biasa yang tersedia pada meja makan.
Di mana di atasnya terletak wadah kaca berisi kuah hitam dengan uap mumbul-mumbul, terdiri dari potongan daging sapi berlemak, berbumbu kluwek digerus bersama segala rempah, yang ditemani toge pendek baru dicuci, sambal terasi, dan kerupuk udang.
Untuk makanan pembuka, dibuatkan mi glosor ber-topping suwiran daging ayam beserta saus kacang dan tempe goreng berselimut tepung.
Sedangkan untuk makanan penutup, istrinya --yang selama sekian tahun bertambah subur, sementara tubuh pria yang kehilangan selera itu kian susut-- meracik es podeng kegemarannya. Itu pun belum terhitung buah apel, pir, jeruk impor, dan semangka.
Tiada lagi yang dapat menggugah nafsu makannya pada malam yang seharusnya berbahagia itu.
Lha wong seleranya sudah hilang.
Ia pun tidak merasakan bahwa istrinya semakin cerewet, berkata-kata bak memberondongkan mitraliur. Ah, itu metafora usang di dalam bertutur gaya lama. Lebih tepat: seperti meluncurkan percakapan tanpa tanda baca pada sekian belas grup WA.
"Sudah lapor polisi?"
"Aaa ..."