Aku menarik dua lembar kertas berwarna ungu dari dompet, melipatnya, kemudian mengangsurkannya ke tangan berdaki dari balik jeruji gerbang.
Mereka mengangkat kantong-kantong keresek bekas berisi benda-benda takterpakai dan barang terbuang, dari drum bertutup yang dirancang khusus.
Adalah saatnya, juga lumrah dan alamiah, ketika benda-benda tidak bisa digunakan itu dipinggirkan ke tempat pembuangan akhir.
Barang-barang terbuang itu bisa berupa: potongan sayur dan trimming ikan yang tidak bisa dimasak, tulang ayam sisa makan malam, tikus mati akibat diracun, juga bekas pembungkus yang tidak bermanfaat apa-apa.
Benda takterpakai, barang buangan, partikel tersisa sebagai sampah rumah tangga yang sudah tamat masa pakainya tersebut disingkirkan ke dalam drum penampung.
Drum yang merupakan ruang gelap, kotor, hangat dan lembap, berbau busuk, serta berisi air kecokelatan hasil fermentasi semalam yang dipenuhi belatung dan bakteri pembusuk.
Jika tidak terlambat, keesokan paginya mereka diangkat dan diangkut ke dalam truk warna kuning setiap jam lima lebih seperempat.
Begitulah rutinitas yang dilakukan truk sampah berwarna kuning beserta kebisingannya. Namun sekali ini berbeda keadaannya. Sama sekali berbeda.
Bisa jadi kemarin sore aku demikian terlelap, sehingga pada hari yang sudah meninggi atau masih pagi ini aku tidak mendengar suara apa pun.
Boleh jadi, waktu sudah melewati Subuh, matahari telah menyingsing. Fajar tertutup dan lebih gelap dibanding biasanya.
Senyap. Aku tidak mendengar suara pemandu truk kuning. Pagi tanpa dengung mesin diesel. Tanpa lisan lantang.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!